Sunday, October 22, 2017

Mahasiswa FMIPA Sangat Butuh Pengabdian Masyarakat (SUIJI SLP)

SUIJI SLP 2015

Saya Tantan Taopik Rohman, mahasiswa Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) di kampus IPB. Alasan pertama saya mendaftar kegiatan service learning program (SLP) ini ingin belajar dari budaya orang Jepang yang dikenal pekerja keras dan memiliki etos kerja tinggi, serta empati lebih baik dari masyarakat Indonesia. Saya pernah ke Singapur dan mengamati banyak perbedaan  perilaku warganya. Mereka begitu rukun antar etnis, baik etnis Melayu, Tiongkok, India, dan minoritasnya. Selain itu tata kota yang rapi didukung kesadaran masyarakatnya akan kebersihan, keteraturan, dan keamanan menjadikan sudut-sudut kota tertata rapi dan bersih. Akan sangat sulit menemukan sampah dan gembel disana. Hal yang sama mungkin juga dapat dijumpai di Negara Sakura, Jepang.
Saya sangat tertarik dengan tingkat kepedulian warga Singapura dan Jepang terhadap lingkungan sekitar dan tata wilayahnya. Entah mengapa masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan gotong royong namun kepedulian dan kesadaran terhadap kebersihan masih jauh tertinggal dari pada warga Singapura dan Jepang. Dengan mengikuti program ini harapannya saya dapat meningkatkan kapasitas diri dan empati terhadap warga desa dan lingkungan, sebab generasi muda butuh proses regenerasi dan pembelajaran yang matang.
Problematika yang dijumpai yakni mayor saya tidak memiliki sks untuk SLP. SLP menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berinteraksi dengan warga desa agar memahami fakta dan realita yang sebenarnya sulit dijumpai di dalam kelas perkuliahan. Akan sangat berbeda saat kita belajar teori dari dosen dibandingkan saat turun langsung ke masyarakat desa, dibutuhkan kemampuan beradaptasi dan komunikasi yang baik. Padahal semua mahasiswa pasti berinteraksi dengan masyarakat walaupun pada intensitas kecil. SLP tidak hanya memfasilitasi hal itu namun juga memberi pengalaman sebagai bekal membangun kepribadian. Belajar memahami akan sangat sulit jika harus dipandang dari berbagai sudut pandang berbeda. Setelah mengikuti SLP saya banyak menjumpai berbagai potensi wilayah dan permasalahan di Desa Suniarsih, Tegal.
SLP hendak mengajak mahasiswa untuk memiliki empati yang baik, memiliki pengalaman berharga sebagai bekal hidup, dan belajar memahami. Program ini tidak hanya sekedar berkunjung saja melihat-lihat desa atau pertanian, namun belajar memahami dari sudut pandang lain yang sangat menarik untuk diamati dan ditelusuri lebih dalam.
Kegiatan efektif dilakukan dari 26 Februari hingga 10 Maret 2015. Pada 27 Februari kami melakukan penanaman Pohon Pinus (Pinus Merkusii) di dekat sungai. Pa lurah banyak melakukan pembibitan pinus yang nantinya dibagikan secara gratis kepada warga Desa Suniarsih. Kami belajar pengelolaan bank sampah di Tuwel pada Hari Minggu 1 Maret. Hal menarik yakni tujuan Bu Bariroh sebagai pengurus bank sampah Tuwel, untuk memberikan kegiatan positif bagi ibu-ibu pengajian Tuwel dan membersihkan lingkungan desa dari sampah. Omzet yang mencapai Rp 22juta per bulan membuat saya kagum. Pendapatan digunakan untuk biaya operasional kepengurusan bank sampah dan program pengajian. Beliau menyatakan bahwa akan menjadi suatu kebahagiaan tersendiri ketika lingkungan Tuwel menjadi bersih dari sampah.
2 Maret kami bertemu guru-guru Paud, SDN 1 Suniarsih, dan MTS At-Tarmasie untuk meminta izin agar memberikan waktu bagi kami bertemu para siswa. Lalu memasak makanan Jepang dan melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga desa. Ketika bertemu guru-guru di Paud begitu terasa suasana ceria saat mengajari anak-anak. Saya merasakan begitu sulitnya mengajar anak-abak kecil yang masih gemar bermain, belum bisa bedakan yang baik atau buruk, dan susah diatur. Bekerja menjadi seorang guru bukanlah hal mudah sebab harus melatih hal-hal baik agar terbentuknya kepribadian murid yang baik. Saat ke SD disambut Pa Khobuli wali kelas 5, beliau merantau dari Purwokerto untuk mengajar disini. Awalnya kami hanya meminta waktu 1 jam untuk bertemu anak kelas 5, namun beliau menyinggung kuliah yang bertahun-tahun hanya bertemu anak SD 1 jam saja. Padahal pengabdian untuk negara haruslah lebih banyak, mengingat saya dapat berkuliah dengan bantuan subsidi PTN dan beasiswa perusahaan swasta. Saya merasa malu dengan pernyataan itu.
Cultural sharing yang dilakukan berupa memasak makanan Jepang lalu diberikan kepada warga desa sambil mendatangi rumah-rumah, mengajari Bahasa Jepang, dan membuat origami-origomi. Saat memasak, mahasiswa Indonesia membantu proses memasaknya sehingga terlihat kerjasama yang menarik untuk diamati. Walaupun agak terkendala bahasa untuk berkomunikasi namun dengan adanya rasa saling tolong menolong membuat dinding pemisah yang tinggi antara Jepang dan Indonesia menjadi luntur lalu kami larut dalam suasana bahagia dan ceria. Saya amat bahagia saat Makki, Rena, dan Keio menjadi recovery mood dengan kegiatan ini. Mendapatkan kebahagiaan itu dapat dengan cara sederhana ternyata.
Setelah selesai memasak kami hendak berkeliling ke rumah-rumah warga desa untuk menawarkan mencicipi masakan Jepang sambil berbincang hangat. Namun hujan yang turun sejak siang tidak kunjung reda malah semakin deras. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam namun hujan tak kunjung reda. Lalu Keio dengan lantang menyatakan untuk segera berangkat karena makanan akan segera tidak enak jiga didiamkan terlalu lama. Kemudian kami memasukkan makanan ke tempat makanan untuk piknik dan sisanya dimasukkan toples plastik. Akhirnya kami melakukan piknik malam-malam keliling desa sambil gunakan payung dan jas hujan. Sedikit lucu memang. Kami berkunjung ke tiga rumah, Pa Saman, Pa Tasmin, dan Pa Asep. Dari ketiga rumah warga yang dikunjungi, kami berbincang hal pengelolaan sampah di rumah, ada atau tidaknya tempat pembuangan sampah (TPS), perlu atau tidaknya Bank Sampah, dan kapan dilakukan kerja bakti membersihkan desa.
Warga desa sudah melakukan pemilahan sampah organik dan non organik namun belum ada TPS dan Bank Sampah yang tersedia. Sampah organik banyak dibuang di kebun di belakang rumah sedangkan sampah non organik dibuang ke hutan. Hal yang membuat saya kaget yakni pernyataan pembenaraan bahwa saat membuang ke hutan itu karena alasan itu lahan milik sendiri, jadi ngapain harus mendirikan bank sampah. Paradigma warga masih sangat sulit untuk­ diajak mendirikan bank sampah.
3 Maret 2015 kami ke Sekolah Dasar Negeri 1 Suniarsih dan ke PAUD. Di Paud hanya saya dan Keio yang datang di pukul 9 sampai 10 sebab kami membagi tugas tim untuk tetap stand by di kelas 5 SD juga. Tim kami mengajar di SD sejak pagi pukul 7 sampai pukul 11.30. Disini saya melihat dan merasakan betapa beratnya menjadi seorang guru bagi anak-anak yang masih kecil dan belum dewasa. Ternyata profesi guru benar sangat mulia dalam mendidik siswa memiliki pribadi baik sejak tingkat SD. Mamaku seorang guru SD, mengajar agama. Kegiatan mengajar ini membuat hati berdegup kencang mengingat kerja keras mamaku mencari nafkah untuk keluarga dan anak, terlebih Mama mengemban tugas mendidik anak-anak yang masih belum paham banyak tentang kerasnya hidup. Terimakasih mama untuk didikanmu padaku, semangatmu menjadi penyejuk hati.
Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Betul memang. Saya merasa selama ini sudah banyak membuang waktu sia-sia hanya untuk kegiatan kurang bermanfaat. Padahal mama banting tulang bekerja untuk hidupku. Mama selalu memberi semangat saat saya hadapi kegagalan, padahal saya jarang pulang menjenguk mama yang tinggal sendiri di rumah. Sangat jarang.
Hari Rabu, 4 Maret kami ke Guci. Tiap hari Pa Zaenal selalu mengecek baik mengirimi sms atau datang langsung ke Suniarsih untuk mengontrol dan briefing. Entahlah namun beliau sering datang ke Suniarsih untuk menemui kami atau sekedar memberi ocehan untukku sebagai ketua Suniarsih member. Padahal saya belum pernah melakukan SLP di Negri Sakura, belum merasakan secara langsung style didikan SLP versi Jepang dan atmosfer kehidupan masyarakat pedesaan disana. Saya hanya membaca dari blog-blog pribadi beberapa rekan yang sudah belajar SLP di Jepang dan berkonsultasi dengan Farah, Rauf, Keio, Rena yang satu desa dengan saya dan mereka pernah SLP di Jepang. Tetap saja cerita dan sharing pengalaman terasa berbeda bila dibandingkan dengan merasakan secara langsung kegiatan tersebut. Namun saya tidak ambil pusing. Saya tidak sama sekali ambil pusing. Saya selalu berusaha melakukan hal-hal sebaik mungkin dan setiap keputusan yang diambil terkait agenda kegiatan itu berdasarkan hasil kesepakatan semua member Suniarsih.
Saat saya mengirim sms ke Pa Zaenal terkait jadwal agenda di Guci, beliau memberikan saran agar diskusi lebih baik dilakukan pagi hari lalu siang hari saatnya free time di Ongseng Guci (Ongseng berasal dari Bahasa Jepang yang artinya kolam air panas). Saya agak gendek saat beliau atur-atur seenaknya saja begitu. Tapi setelah beberapa lama saya pikir ulang ternyata nasihat beliau sangat tepat sebab kita memang harus bekerja dulu baru rehat berwisata di Guci.
Selain itu yang menarik ialah gagasan Abichan Sensei untuk melakukan pertemuan seluruh desa di Tegal site tiap 3 atau 4 hari sekali untuk sharing info atau bahkan sekedar melepas penat dengan bertemu teman dari desa lain. Ini juga gagasan menarik yang saya dapat dari Sensei. Padahal pertama kali melihat beliau saya merasa kurang suka. Apalagi saat perjalan berangkat ke Tegal, waktu itu beliau memarahi saya sebab tidak mempersiapkan air minum di bus dan saat hendak beli air di rest area di Tol Jagorawi saya bilang disana harganya mahal. Padahal kemarin Pa Jeffry sudah bilang kalau di bus sudah ada air minum. Bete sih diomelin begitu di depan mahasiswa yang lain pula. Waktu itu saya hanya berpikir, Ya sudahlah, bagaimana lagi. Tapi setelah waktu berlalu saya makin paham karater dan gaya beliau dalam mendidik. Beliau punya banyak gagasan menarik yang out of the box dan hebat.
Begitu sukar mengurusi anak-anak yang berbeda latar belakang dan ras, sukar memberi instruksi dan paling sukar ialah saat meminta mereka tidur segera tidak saat larut malam. Begadang menjadi kebiasaan buruk yang sulit saya beri ketegasan. Menjadi ketua regu di Suniarsih tahun ini amat menantang mengingat saya sebagai ketua baru memiliki pengalaman mengikuti IPB Goes to Field (IGTF) saja sedangkan member lain sudah advance. Rauf itu kakak tingkat saya walaupun dari segi usia itu saya lebih tua. Dia orang baik dan kreatif dalam berpikir. Namun saya masih merasa dia belum begitu dewasa dan bijak. Mungkin efek kelas akselerasi.
Keio yang sudah bulak balik Indonesia dan Jepang untuk SLP, Farah dan Rena sudah pernah SLP di Jepang. Mereka berempat sudah lebih berpengalaman dari pada saya. Cukup sulit memimpin mereka. Namun saya berusaha memahami bagaiman agar pengalaman dan pengetahuan mereka bisa dimanfaatkan untuk kegiatan SLP di Suniarsih yang lebih mendidik sehingga saya memutuskan posisi pemimpin yang kadang otoriter, kadang seperti bukan pemimpin, dan kadang sebagai fasilitator.
Sikap sebagai fasilitator saya terapkan sebab beberapa member sudah lebih berpengalaman dari saya maka saya sering menggali informasi yang dalam dari Rauf, Keio, Farah, Rena. Saya juga menggali banyak infromasi terkait kehidupan di Jepang dari Maki. Perilaku keseharian yang menarik untuk diamati dan diambil pelajaran baiknya. Mereka sangat tepat waktu, disiplin, dan senang memuji. Saya salut akan etos kerja orang Jepang yang selalu bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan pekerjaan dan kewajiban. Kebiasaan memuji dan bilang oishi juga menarik. Manusia pada dasarnya suka dipuji dan diberi masukkan yang membuat hati senang. Dan itulah poin menarik dari budaya Jepang.
M Ariansyah alias Nyannyan pernah megikuti Bina Cinta Lingkungan (BCL). Saat saya di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) tidak ada kegiatan itu jadi menarik untuk digali infonya. Nyanyan masih semester 4 tapi sudah berani mengemukakan pendapat dan ikut berdiskusi menukar pendapat serta pemikiran. Dia orang yang keratif. Mental ini memang sudah identik karena dia sekolah di Depok, salah satu kota maju di sekitar Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Saya mendengarkan baik-baik saat Pa Zaenal bercerita masa TPB beliau penuh canggung harus berteman dengan mahasiswa asal Jakarta dan Bandung yang sangat percaya diri saat mengacungkan tangan memberikan pendapat. Nyannyan sudah memiliki mental untuk bergaul dengan orang lain.
5 Maret 2015 kami berkunjung ke MTS At-Tarmasie Desa Suniarsih. Kunjungan ini sambil mengajari origomi, bahasa Jepang, dan praktik komputer. Di sekolah itu gurunya jarang masuk kelas. Bahkan saat kami berkunjung kesana pun semua kelas sedang tidak ada guru padahal itu masih jam pelajaran. Saya bertanya ke murid-murid dan mereka bilang kalo para guru sedang di kantor. Saat saya cek ke kantor para guru ada yang duduk santai, bermain komputer, internetan, dan ada yang terlihat sibuk memeriksa berkas-berkas. Saya bingung harus menegur atau bagaimana karena posisi saya hanya pendatang dan para guru tak menunjukkan ketertarikan para program bank sampah dan SLP kami.
Hal kontras bila dibandingkan dengan SDN 1 Suniarsih yang sangat antusias saat kami datang. Saya sebenarnya tidak mempermasalahkan cara mereka menyambut atau menanggapi kedatangan kami, namun saya hanya melihat hal kontras antara keduanya. Guru-guru SD sangat welcome dan bahkan wali kelas 5, Pa Khobuli meminta saya kembali lagi ke kelas dan kembali lagi ke Tegal untuk belajar bersama anak-anak. Saya kaget dengan tawaran itu. Pa Khobuli berasal dari Purwokerto dan merantau ke Desa Suniarsih untuk mengabdikan diri mengajar walau harus tinggal di rumah dinas yang terbilang sempit. Tapi beliau selalu ceria dan memberikan senyuman saat bertemu kami. Ibu Kepala Sekolah SD yang anak-anak SD bilang galak dan tegas juga menyambut baik kedatangan kami, Mahasiswa IPB dan Jepang. Saya senang dengan kerja keras para guru SD.
Kami berada di kelas 8 MTS selama 2,5 jam untuk berbagi pengalaman, mengajari bahasa Jepang, membuat origomi bentuk kemeja, dan praktik komputer. Kami pun pulang dan kembali ke rumah Pa Taseh, Lurah Suniarsih. Siang hari saya memutuskan untuk mengecek kembali rumah warga RT 04 yang akan dijadikan untuk kegiatan pengajian dan arisan ibu-ibu. Lalu setelah semua oke kami membagi member SUIJI Suniarsih kedalam 2 tim. Tim 1 yang terdiri dari Keio, Farah, Nyannyan, dan Rena datang ke arisan untuk presentasi serta mengajak mengelola sampah melalui Bank Sampah, sebab menurut cerita Ibu Bariroh, pencetus Bank Sampah Tuwel, sistem berawal dari kumpulan ibu-ibu pengajian yang memiliki visi untuk memiliki lingkungan Tuwel yang bersih. Sedangkan tim 2 terdiri dari Tantan, Rauf, dan Maki melakukan interview ke RT 01 dan RT 02.
Hal menarik dari kegiatan kita siang ini adalah saat tim 1 ke arisan, lalu presentasi tentang pengelolaan sampah dan ajakan mendirikan bank sampah. Satu persatu ibu meninggalkan ruang arisan dan akhirnya salah seorang ibu bertanya, “sudah?” sambil meninjing tasnya. Karena kami tidak enak dengan mereka maka kami jawab sudah. Dan semua ibu-ibu pergi meninggalkan rumah dengan posisi kami yang terkaget-kaget tidak karuan.
Kegiatan Gomi Undokai yang dilakukan di Desa Suniarsih direncanakan secara bersama-sama oleh Tegal site member. Seluruh member datang ke Suniarsih untuk saling membantu persiapan kegiatan ini. Saya merasa bahagia dapat berjumpa kembali dengan kawan-kawan dari desa lain. Ide untuk kembali mempertemukan seluruh member baik Indonesian maupun Japanese tercetus oleh Abichan Sensei. Pada awalnya saya belum memahami maksud dan tujuan dari pertemuan rutin tiap 3 hari sekali. Ternyata setelah saya coba cerna ulang barulah dapat dipahami bagaimana pentingnya pertemuan ini. Saya memahami jika hal ini dapat menjadi ajak temu kangen sesama member dari desa lain, lalu menjadi ajang untuk sharing informasi yang telah didapat, dan untuk mengenal teman yang sebelumnya belum kita kenal. Saya bersyukur dapat mengenal seluruh tegal site member dan itu sangat menyenangkan mengetahui bermacam-macam karakter dari orang lain. Saya pun tidak dapat yakin bisa mengenal teman Indonesia dari desa lain jika pertemuan rutin ini tak dilakukan. Saya salut dengan Sensei yang dapat membimbing mahasiswa sambil turun langsung membenarkan yang kurang tepat dan memberi tahu hal yang tak kami ketahui.
Saya pernah mengikuti kegiatan IGTF di Desa Prambanan, Kabupaten Klaten. Saat itu program yang dilakukan yakni sosialisasi tungku sekam sebagai alternatif sumber energi. Waktu itu saya masih tingkat 2 dan merasa belum sangat expert untuk membawa program ini ke masyarakat. Dan saat terjun di masyarakat Prambanan, mereka menuntut mahasiswa untuk membawa inovasi yang baru disertai kepraktisan penggunaannya. Saya yakin benar bahwa inovasi tungku sekam merupakan salah satu inovasi di bidang energi yang menarik ketika dunia menuju keadaan minyak dan gas bumi habis. Manusia di dunia sebagian besar sangat tergantung pada energi fosil sebagai bahan bakar, bahan aspal jalan, dll. Prambanan memiliki komoditas penting yakni padi rojolele. Padi ini ketika ditanak menjadi nasi yang pulen dan wangi seperti pandan. Maka area sawah warga desa cukup luas menyebabkan limbah sekam juga melimpah. Disinilah potensi tungku sekam sebagai alternatif sumber energi yang murah dan ramah lingkungan. Ramah lingkungan disini sebab memanfaatkan limbah sekam sebagai bahan bakunya. Namun disamping itu masih ada kekurangan dari tungku sekam ini, yakni tingkat kepraktisan yang masih kecil, sebab tungku sekam tidak bisa ditinggalkan lama. Apinya akan padam dan sekamnya tidak terdistribusi dengan baik, berbeda halnya dengan gas bumi yang dapat ditinggalkan selama setengah jam untuk memasak air. Selain itu tungku sekam mengeluarkan asap yang menyakiti mata. Warga desa Prambanan kurang tertarik dengan tungku sekam ini. Kami sudah mengajak bapak-bapak untuk bersama-sama mengetahui cara membuat tungku sekam dan mensosialisasikan demo masak menggunakan tungku sekam di depan ibu-ibu PKK. Beberapa komentar yang muncul adalah tidak praktis dan asapnya menyakiti mata.
Sama halnya ketika saya mengikuti SUIJI SLP 2015 di Suniarsih, Tegal. Warga desa disini sangat tertarik dengan kedatangan kita. Walaupun respon terhadap program yang kami tawarkan, yakni bank sampah, belum cukup membuat warga desa tertarik dan antusias. Saat SUIJI saya rajin berkeliling desa untuk mengamati keadaan warga dan kondisi karakteristik wilayahnya. Padahal saat IGTF saya lebih sering tinggal di rumah tanpa agenda dan jalan-jalan ke Jogja. Bahkan tidak satu fasilitas pendidikan di desa Prambanan yang kami kunjungi. Berbeda halnya dengan di Suniarsih. Kami berkunjung dan berbagai pengetahuan dengan anak-anak Paud, SD, SMP, dan MTS. Prambanan cukup strategis dengan moda transportasi dan fasilitas umum. Contohnya saja di Prambanan itu hanya cukup berjalan kaki ke jalan raya di depan maka bus antar kota dan antar provinsi sudah tersedia. Di Suniarsih hanya ada pick up yang tersedia. Sehingga warga Suniarsih masih belum terbiasa dengan orang asing. Berbeda halnya dengan Prambanan yang memiliki objek wisata Candi Prambanan yang banyak dikunjungi turis lokal dan turis asing.
Untuk persoalan yang sedang “in” di masyarakat pedesaan, saya rasa urbanisasi banyak terjadi di kalangan warga desa. Saat kami melakukan interview dengan warga, beberapa dari  anggota keluarga yang masih muda dalam usia kerja banyak yang pindah ke perkotaan seperti Bandung, Jakarta, dan Semarang untuk merantau mencari pekerjaan disana. Beberapa dari warga desa yang diinterview menyatakan anggota keluarga mereka menjual nasi goreng di kota dan ada beberapa yang kerja di pabrik. Lalu terpikir dibenak bahwa warga desa usia tua yang bermatapencaharian sebagai petani tidak memiliki penerus ilmu pertaniannya, sebab generasi mudanya lebih memilih bekerja di kota. Padahal jika tidak ada penerus maka siapa lagi yang dapat melanjutkan sistem pertanian yang sudah dilakukan puluhan tahun bahkan ratusan tahun lalu atau bahkan lebih. Pantas saja bawang putih di Tuwel atau di Bojong sudah sangat sulit. Sebab generasi muda petani tidak ingin bekerja sebagai petani. Padahal mamaku menanyakan bagaimana kabar pertanian bawang putih di Tegal. Itu pertanda bawang putih merupakan potensi yang sudah dikenal banyak.
Saya belum tahu bagaimana mengatasi 2 problematika di atas mengenai urbanisasi dan hilangnya ilmu pertanian bawang putih. Dua hal itu erat kaitannya dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi. Saya rasa hal itu harus jadi perhatian serius agar laju urbanisasi dapat dikendalikan dan potensi pertanian desa dapat ditingkatkan.
Proses belajar dan “bergaul” yang saya alami saat SLP menuntut kemampuan adaptasi yang baik dan skill pengontrolan diri. Saya sudah terbiasa dengan kondisi cuaca di Suniarsih yang rutin hujan dan berkabut, sebab rumah saya juga ada di kaki gunung. Adaptasi yang cukup sulit saya lakukan yakni berinteraksi dengan orang Jepang. Saya berasal dari desa di Jawa Barat, walaupun fasilitas sudah cukup baik namun tetap saja saya orang desa. Namun saat harus satu rumah dengan orang Jepang yang cukup kontras dari segi budaya, makanan, kepercayaan, dan kebiasaan membuat saya harus ekstra adaptasi dan berhati-hati. Teman-teman dari Jepang belum terbiasa dengan makanan dan minuman di Indonesia yang identik dengan rasa, manis, asin, dan pedas. Tiga orang kawan Jepang di Suniarsih mengalami diare selama beberapa hari, walaupun tidak parah namun penyakit itu sudah cukup membuat saya sebagai ketua Suniarsih member mendapat “semprotan” dari Sensei. Saya tidak khawatir ataupun sakit hati kok dengan hal itu, malah saya merasa senang karena ada yang memperhatikan dan peduli.
Tidak ada konflik besar yang kami alami, hanya beberapa kali saya terjadi ketidaksamaan pola pikir dan pengambilan keputusan. Tetapi hal itu dapat teratasi dengan kelapangan member satu sama lain. Rauf terkadang keras kepala jika ada ide yang kontras dengan pemikiran di kepala dia, namun pelan-pelan saya sebagai leader dan member lain menjelaskan maksud dan urgency ide yang tercetus tersebut. Semua kami selalu berusaha komunikasikan dengan baik antar member. Termasuk saat bergantian masuk toilet, kami saling menurunkan ego masing-masing. Saya salut dengan Suniarsih member yang selalu bercanda tertawa terbahak-bahak, hingga sesi mengenal satu sama lain lewat sesi “Who am I?”. Di sesi itu kami saling memaparkan kepribadian sendiri dan saat ada pertanyaan menjawab dengan jujur. Bahkan kami harus mengetahui hobi, akun media sosial, punya pacar atau tidak, sudah punya mantan berapa, dan makanan kesukaan apa. Pertama-tama terbersit pemikiran itu hanya hal sepele, tetapi ternyata hal itu yang mendekatkan kita melalui saling kenal satu sama lain.
Tapi satu hal yang membuat saya salut dengan Pa Lurah dan keluarga ialah mereka rela pindah ke rumah bagian belakang selama kami 2 pekan tinggal disana. Padahal rumah bagian belakang itu sangat dekat dengan tebing dan jika malam hari terasa dingin. Pa Lurah dan keluarga dengan senang hati mempersilahkan kami untuk tidur di kamar dan menggunakan selimut mereka, padahal mereka tidak masalah untuk tidur di lantai beralaskan tikar dan kain sarung. Ibu lurah pun begitu baik mengurusi kami seperti halnya anak beliau sendiri. Saya beberapa kali meminta maaf saat harus membuat bising rumah mereka di malam hari dan merepotkan ibu untuk memasak dengan porsi lebih dari biasanya untuk kami. Bapak, Ibu, dan keluarga itu tipikal orang yang mau belajar dan berbagai. Saya kagum dengan keikhlasan mereka.
Beberapa hari sebelum keberangkatan ke desa, saya membayangkan di Desa Suniarsih itu sangat menyeramkan dan warganya sangat terbelakang untuk hal perkembangan teknologi. Setelah saya tinggal selama 2 pekan bayangan seram dan angker ternyata tidak sepenuhnya dirasakan disana. Tetapi beberapa kepercayaan warga masih ada seperti tidak boleh memainkan instrumen gamelan di desa ini, sebab jika dimainkan maka akan ada bencana yang datang. Lalu dari sejarah pun sebagian besar warga percaya bahwa Suniarsih berasal dari nama seorang wanita yang mengasingkan diri ke hutan lalu tinggal disana sampai ajal datang. Hal menarik yakni desa ini memiliki nama lain yakni Simpar. Dari cerita warga yang saya dengarkan, mbah simpar dulu menyukai Suniarsih dan menyayanginya. Poin lain terkait informsi kepercayaan warga desa ialah cerita yang kami dapatkan dari Pa Lurah, Pa Taseh. Bapak dulu melalukan semedi sebelum berani mencalonkan diri sebagai Lurah Suniarsih. Ada sesajen dan kemenyan yang disimpan di rumah bagian belakang sebagai penangkal dari aura negatif. Bapak menceritakan hal itu di malam hari saat sepi sehingga membuat saya ketakutan. Entahlah ini hal nyata atau tidak saya tidak ambil pusing. Yang terpenting saat menjadi orang baru di desa ini jangan melakukan hal-hal tidak senonoh seperti berzina, berkata kotor, dan sonong menantang penghuni hutan desa.
Motivasi belajar dan turun desa menjadikan saya tetap bertahan selama 2 pekan walaupun menemui banyak rintangan. Saya mahasiswa FMIPA yang tidak memiliki sks untuk KKN atau magang. Beberapa dari departemen atau jurusan di fakultas saya memang mewajibkan KKN dan/atau magang, namun hal ini tidak berlaku dibeberapa departemen lain, termasuk departemen saya. Saya mengikuti IGTF di Klaten dan SLP di Tegal berkat dorongan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman untuk memiliki soft skill yang tidak saya dapatkan di dalam kelas kuliah. Keyakinan begitu kuat bahwa soft skill ini sangatlah bermanfaat saat dunia pasca kampus atau berinteraksi dengan masyarakat. Masih terngiang di benak saat Sensei menyatakan bahwa desa itu kampus dan warga desa adalah buku sang jendela dunia. Saya yakin ilmu SLP ini sangat dibutuhkan mahasiswa, terutama mahasiswa FMIPA.
            Beberapa hari setelah kepulangan dari Tegal, saya mendapat tawaran untuk mengajar di salah satu bimbingan belajar di Kota bogor. Saya merasa itu sebagai kesempatan untuk melatih pengetahuan tentang ilmu yang didapat sampai bangku kuliah untuk persiapan ujian sidang sarjana. Saya mendapatkan beasiswa untuk jenjang sarjana di IPB dan pihak beasiswa itu memiliki program bina desa tiap hari Sabtu sore untuk mengajar anak-anak desa yang masih SD dan yang putus sekolah. Mengikuti SLP membuat semangat bina desa lebih besar dan membuat kita punya kewajiban untuk peduli kepada masyarakat. Rasa peduli dan empati inilah yang masih minim dimiliki oleh para mahasiswa. Saran saya, SLP diwajibkan untuk seluruh mahasiswa dan dosen, sebab masyarakat juga butuh tenaga ahli yang sudah paham betul. Mahasiswa juga menarik perhatian warga desa sebab seperti kepala BAPPEDA Tegal sampaikan bahwa mahasiswa itu bagai bayi, apapun keadaannya tetap lucu berbeda dengan pemerintah desa yang sudah terkontaminasi.

            Saya merupakan mahasiswa tingkat akhir di program sarjana dan di bulan januari saya sudah apply program exchange Alfabet Erasmus dan Februari sudah dilakukan interview, lalu Bulan April akan diumumkan. Saya yakin dengan interaksi mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa asing akan menyebabkan bertambahnya pengetahuan satu sama lain dan tingkat kepercayaaan diri saat harus bekerja secara team work dengan orang asing dari negara lain. Saya sangat antusias untuk berkeliling Indonesia dan dunia untuk mengetahui betapa luasnya dunia dan betapa menarinya budaya-budaya orang lain. IGTF dan SLP menjadi fasilitas untuk belajar di Klaten dan di Tegal, tempat yang sebelumnya belum pernah saya datangi. Saya merencanakan tahun ini akan kuliah exchange di Jerman mengambil Teknik Elektro atau Fisika lalu tahun depan belajar teknologi ke Jepang. Semoga kami menjadi pribadi lebih peduli,cerdas, dan berempati. Terimakasih IGTF. Terimakasih SUIJI SLP. Terimakasih Pa Zaenal, semoga Alloh swt selalu limpahkan kesehatan untuk sensei.