Sunday, October 22, 2017

Mahasiswa FMIPA Sangat Butuh Pengabdian Masyarakat (SUIJI SLP)

SUIJI SLP 2015

Saya Tantan Taopik Rohman, mahasiswa Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) di kampus IPB. Alasan pertama saya mendaftar kegiatan service learning program (SLP) ini ingin belajar dari budaya orang Jepang yang dikenal pekerja keras dan memiliki etos kerja tinggi, serta empati lebih baik dari masyarakat Indonesia. Saya pernah ke Singapur dan mengamati banyak perbedaan  perilaku warganya. Mereka begitu rukun antar etnis, baik etnis Melayu, Tiongkok, India, dan minoritasnya. Selain itu tata kota yang rapi didukung kesadaran masyarakatnya akan kebersihan, keteraturan, dan keamanan menjadikan sudut-sudut kota tertata rapi dan bersih. Akan sangat sulit menemukan sampah dan gembel disana. Hal yang sama mungkin juga dapat dijumpai di Negara Sakura, Jepang.
Saya sangat tertarik dengan tingkat kepedulian warga Singapura dan Jepang terhadap lingkungan sekitar dan tata wilayahnya. Entah mengapa masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan gotong royong namun kepedulian dan kesadaran terhadap kebersihan masih jauh tertinggal dari pada warga Singapura dan Jepang. Dengan mengikuti program ini harapannya saya dapat meningkatkan kapasitas diri dan empati terhadap warga desa dan lingkungan, sebab generasi muda butuh proses regenerasi dan pembelajaran yang matang.
Problematika yang dijumpai yakni mayor saya tidak memiliki sks untuk SLP. SLP menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berinteraksi dengan warga desa agar memahami fakta dan realita yang sebenarnya sulit dijumpai di dalam kelas perkuliahan. Akan sangat berbeda saat kita belajar teori dari dosen dibandingkan saat turun langsung ke masyarakat desa, dibutuhkan kemampuan beradaptasi dan komunikasi yang baik. Padahal semua mahasiswa pasti berinteraksi dengan masyarakat walaupun pada intensitas kecil. SLP tidak hanya memfasilitasi hal itu namun juga memberi pengalaman sebagai bekal membangun kepribadian. Belajar memahami akan sangat sulit jika harus dipandang dari berbagai sudut pandang berbeda. Setelah mengikuti SLP saya banyak menjumpai berbagai potensi wilayah dan permasalahan di Desa Suniarsih, Tegal.
SLP hendak mengajak mahasiswa untuk memiliki empati yang baik, memiliki pengalaman berharga sebagai bekal hidup, dan belajar memahami. Program ini tidak hanya sekedar berkunjung saja melihat-lihat desa atau pertanian, namun belajar memahami dari sudut pandang lain yang sangat menarik untuk diamati dan ditelusuri lebih dalam.
Kegiatan efektif dilakukan dari 26 Februari hingga 10 Maret 2015. Pada 27 Februari kami melakukan penanaman Pohon Pinus (Pinus Merkusii) di dekat sungai. Pa lurah banyak melakukan pembibitan pinus yang nantinya dibagikan secara gratis kepada warga Desa Suniarsih. Kami belajar pengelolaan bank sampah di Tuwel pada Hari Minggu 1 Maret. Hal menarik yakni tujuan Bu Bariroh sebagai pengurus bank sampah Tuwel, untuk memberikan kegiatan positif bagi ibu-ibu pengajian Tuwel dan membersihkan lingkungan desa dari sampah. Omzet yang mencapai Rp 22juta per bulan membuat saya kagum. Pendapatan digunakan untuk biaya operasional kepengurusan bank sampah dan program pengajian. Beliau menyatakan bahwa akan menjadi suatu kebahagiaan tersendiri ketika lingkungan Tuwel menjadi bersih dari sampah.
2 Maret kami bertemu guru-guru Paud, SDN 1 Suniarsih, dan MTS At-Tarmasie untuk meminta izin agar memberikan waktu bagi kami bertemu para siswa. Lalu memasak makanan Jepang dan melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga desa. Ketika bertemu guru-guru di Paud begitu terasa suasana ceria saat mengajari anak-anak. Saya merasakan begitu sulitnya mengajar anak-abak kecil yang masih gemar bermain, belum bisa bedakan yang baik atau buruk, dan susah diatur. Bekerja menjadi seorang guru bukanlah hal mudah sebab harus melatih hal-hal baik agar terbentuknya kepribadian murid yang baik. Saat ke SD disambut Pa Khobuli wali kelas 5, beliau merantau dari Purwokerto untuk mengajar disini. Awalnya kami hanya meminta waktu 1 jam untuk bertemu anak kelas 5, namun beliau menyinggung kuliah yang bertahun-tahun hanya bertemu anak SD 1 jam saja. Padahal pengabdian untuk negara haruslah lebih banyak, mengingat saya dapat berkuliah dengan bantuan subsidi PTN dan beasiswa perusahaan swasta. Saya merasa malu dengan pernyataan itu.
Cultural sharing yang dilakukan berupa memasak makanan Jepang lalu diberikan kepada warga desa sambil mendatangi rumah-rumah, mengajari Bahasa Jepang, dan membuat origami-origomi. Saat memasak, mahasiswa Indonesia membantu proses memasaknya sehingga terlihat kerjasama yang menarik untuk diamati. Walaupun agak terkendala bahasa untuk berkomunikasi namun dengan adanya rasa saling tolong menolong membuat dinding pemisah yang tinggi antara Jepang dan Indonesia menjadi luntur lalu kami larut dalam suasana bahagia dan ceria. Saya amat bahagia saat Makki, Rena, dan Keio menjadi recovery mood dengan kegiatan ini. Mendapatkan kebahagiaan itu dapat dengan cara sederhana ternyata.
Setelah selesai memasak kami hendak berkeliling ke rumah-rumah warga desa untuk menawarkan mencicipi masakan Jepang sambil berbincang hangat. Namun hujan yang turun sejak siang tidak kunjung reda malah semakin deras. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam namun hujan tak kunjung reda. Lalu Keio dengan lantang menyatakan untuk segera berangkat karena makanan akan segera tidak enak jiga didiamkan terlalu lama. Kemudian kami memasukkan makanan ke tempat makanan untuk piknik dan sisanya dimasukkan toples plastik. Akhirnya kami melakukan piknik malam-malam keliling desa sambil gunakan payung dan jas hujan. Sedikit lucu memang. Kami berkunjung ke tiga rumah, Pa Saman, Pa Tasmin, dan Pa Asep. Dari ketiga rumah warga yang dikunjungi, kami berbincang hal pengelolaan sampah di rumah, ada atau tidaknya tempat pembuangan sampah (TPS), perlu atau tidaknya Bank Sampah, dan kapan dilakukan kerja bakti membersihkan desa.
Warga desa sudah melakukan pemilahan sampah organik dan non organik namun belum ada TPS dan Bank Sampah yang tersedia. Sampah organik banyak dibuang di kebun di belakang rumah sedangkan sampah non organik dibuang ke hutan. Hal yang membuat saya kaget yakni pernyataan pembenaraan bahwa saat membuang ke hutan itu karena alasan itu lahan milik sendiri, jadi ngapain harus mendirikan bank sampah. Paradigma warga masih sangat sulit untuk­ diajak mendirikan bank sampah.
3 Maret 2015 kami ke Sekolah Dasar Negeri 1 Suniarsih dan ke PAUD. Di Paud hanya saya dan Keio yang datang di pukul 9 sampai 10 sebab kami membagi tugas tim untuk tetap stand by di kelas 5 SD juga. Tim kami mengajar di SD sejak pagi pukul 7 sampai pukul 11.30. Disini saya melihat dan merasakan betapa beratnya menjadi seorang guru bagi anak-anak yang masih kecil dan belum dewasa. Ternyata profesi guru benar sangat mulia dalam mendidik siswa memiliki pribadi baik sejak tingkat SD. Mamaku seorang guru SD, mengajar agama. Kegiatan mengajar ini membuat hati berdegup kencang mengingat kerja keras mamaku mencari nafkah untuk keluarga dan anak, terlebih Mama mengemban tugas mendidik anak-anak yang masih belum paham banyak tentang kerasnya hidup. Terimakasih mama untuk didikanmu padaku, semangatmu menjadi penyejuk hati.
Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Betul memang. Saya merasa selama ini sudah banyak membuang waktu sia-sia hanya untuk kegiatan kurang bermanfaat. Padahal mama banting tulang bekerja untuk hidupku. Mama selalu memberi semangat saat saya hadapi kegagalan, padahal saya jarang pulang menjenguk mama yang tinggal sendiri di rumah. Sangat jarang.
Hari Rabu, 4 Maret kami ke Guci. Tiap hari Pa Zaenal selalu mengecek baik mengirimi sms atau datang langsung ke Suniarsih untuk mengontrol dan briefing. Entahlah namun beliau sering datang ke Suniarsih untuk menemui kami atau sekedar memberi ocehan untukku sebagai ketua Suniarsih member. Padahal saya belum pernah melakukan SLP di Negri Sakura, belum merasakan secara langsung style didikan SLP versi Jepang dan atmosfer kehidupan masyarakat pedesaan disana. Saya hanya membaca dari blog-blog pribadi beberapa rekan yang sudah belajar SLP di Jepang dan berkonsultasi dengan Farah, Rauf, Keio, Rena yang satu desa dengan saya dan mereka pernah SLP di Jepang. Tetap saja cerita dan sharing pengalaman terasa berbeda bila dibandingkan dengan merasakan secara langsung kegiatan tersebut. Namun saya tidak ambil pusing. Saya tidak sama sekali ambil pusing. Saya selalu berusaha melakukan hal-hal sebaik mungkin dan setiap keputusan yang diambil terkait agenda kegiatan itu berdasarkan hasil kesepakatan semua member Suniarsih.
Saat saya mengirim sms ke Pa Zaenal terkait jadwal agenda di Guci, beliau memberikan saran agar diskusi lebih baik dilakukan pagi hari lalu siang hari saatnya free time di Ongseng Guci (Ongseng berasal dari Bahasa Jepang yang artinya kolam air panas). Saya agak gendek saat beliau atur-atur seenaknya saja begitu. Tapi setelah beberapa lama saya pikir ulang ternyata nasihat beliau sangat tepat sebab kita memang harus bekerja dulu baru rehat berwisata di Guci.
Selain itu yang menarik ialah gagasan Abichan Sensei untuk melakukan pertemuan seluruh desa di Tegal site tiap 3 atau 4 hari sekali untuk sharing info atau bahkan sekedar melepas penat dengan bertemu teman dari desa lain. Ini juga gagasan menarik yang saya dapat dari Sensei. Padahal pertama kali melihat beliau saya merasa kurang suka. Apalagi saat perjalan berangkat ke Tegal, waktu itu beliau memarahi saya sebab tidak mempersiapkan air minum di bus dan saat hendak beli air di rest area di Tol Jagorawi saya bilang disana harganya mahal. Padahal kemarin Pa Jeffry sudah bilang kalau di bus sudah ada air minum. Bete sih diomelin begitu di depan mahasiswa yang lain pula. Waktu itu saya hanya berpikir, Ya sudahlah, bagaimana lagi. Tapi setelah waktu berlalu saya makin paham karater dan gaya beliau dalam mendidik. Beliau punya banyak gagasan menarik yang out of the box dan hebat.
Begitu sukar mengurusi anak-anak yang berbeda latar belakang dan ras, sukar memberi instruksi dan paling sukar ialah saat meminta mereka tidur segera tidak saat larut malam. Begadang menjadi kebiasaan buruk yang sulit saya beri ketegasan. Menjadi ketua regu di Suniarsih tahun ini amat menantang mengingat saya sebagai ketua baru memiliki pengalaman mengikuti IPB Goes to Field (IGTF) saja sedangkan member lain sudah advance. Rauf itu kakak tingkat saya walaupun dari segi usia itu saya lebih tua. Dia orang baik dan kreatif dalam berpikir. Namun saya masih merasa dia belum begitu dewasa dan bijak. Mungkin efek kelas akselerasi.
Keio yang sudah bulak balik Indonesia dan Jepang untuk SLP, Farah dan Rena sudah pernah SLP di Jepang. Mereka berempat sudah lebih berpengalaman dari pada saya. Cukup sulit memimpin mereka. Namun saya berusaha memahami bagaiman agar pengalaman dan pengetahuan mereka bisa dimanfaatkan untuk kegiatan SLP di Suniarsih yang lebih mendidik sehingga saya memutuskan posisi pemimpin yang kadang otoriter, kadang seperti bukan pemimpin, dan kadang sebagai fasilitator.
Sikap sebagai fasilitator saya terapkan sebab beberapa member sudah lebih berpengalaman dari saya maka saya sering menggali informasi yang dalam dari Rauf, Keio, Farah, Rena. Saya juga menggali banyak infromasi terkait kehidupan di Jepang dari Maki. Perilaku keseharian yang menarik untuk diamati dan diambil pelajaran baiknya. Mereka sangat tepat waktu, disiplin, dan senang memuji. Saya salut akan etos kerja orang Jepang yang selalu bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan pekerjaan dan kewajiban. Kebiasaan memuji dan bilang oishi juga menarik. Manusia pada dasarnya suka dipuji dan diberi masukkan yang membuat hati senang. Dan itulah poin menarik dari budaya Jepang.
M Ariansyah alias Nyannyan pernah megikuti Bina Cinta Lingkungan (BCL). Saat saya di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) tidak ada kegiatan itu jadi menarik untuk digali infonya. Nyanyan masih semester 4 tapi sudah berani mengemukakan pendapat dan ikut berdiskusi menukar pendapat serta pemikiran. Dia orang yang keratif. Mental ini memang sudah identik karena dia sekolah di Depok, salah satu kota maju di sekitar Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Saya mendengarkan baik-baik saat Pa Zaenal bercerita masa TPB beliau penuh canggung harus berteman dengan mahasiswa asal Jakarta dan Bandung yang sangat percaya diri saat mengacungkan tangan memberikan pendapat. Nyannyan sudah memiliki mental untuk bergaul dengan orang lain.
5 Maret 2015 kami berkunjung ke MTS At-Tarmasie Desa Suniarsih. Kunjungan ini sambil mengajari origomi, bahasa Jepang, dan praktik komputer. Di sekolah itu gurunya jarang masuk kelas. Bahkan saat kami berkunjung kesana pun semua kelas sedang tidak ada guru padahal itu masih jam pelajaran. Saya bertanya ke murid-murid dan mereka bilang kalo para guru sedang di kantor. Saat saya cek ke kantor para guru ada yang duduk santai, bermain komputer, internetan, dan ada yang terlihat sibuk memeriksa berkas-berkas. Saya bingung harus menegur atau bagaimana karena posisi saya hanya pendatang dan para guru tak menunjukkan ketertarikan para program bank sampah dan SLP kami.
Hal kontras bila dibandingkan dengan SDN 1 Suniarsih yang sangat antusias saat kami datang. Saya sebenarnya tidak mempermasalahkan cara mereka menyambut atau menanggapi kedatangan kami, namun saya hanya melihat hal kontras antara keduanya. Guru-guru SD sangat welcome dan bahkan wali kelas 5, Pa Khobuli meminta saya kembali lagi ke kelas dan kembali lagi ke Tegal untuk belajar bersama anak-anak. Saya kaget dengan tawaran itu. Pa Khobuli berasal dari Purwokerto dan merantau ke Desa Suniarsih untuk mengabdikan diri mengajar walau harus tinggal di rumah dinas yang terbilang sempit. Tapi beliau selalu ceria dan memberikan senyuman saat bertemu kami. Ibu Kepala Sekolah SD yang anak-anak SD bilang galak dan tegas juga menyambut baik kedatangan kami, Mahasiswa IPB dan Jepang. Saya senang dengan kerja keras para guru SD.
Kami berada di kelas 8 MTS selama 2,5 jam untuk berbagi pengalaman, mengajari bahasa Jepang, membuat origomi bentuk kemeja, dan praktik komputer. Kami pun pulang dan kembali ke rumah Pa Taseh, Lurah Suniarsih. Siang hari saya memutuskan untuk mengecek kembali rumah warga RT 04 yang akan dijadikan untuk kegiatan pengajian dan arisan ibu-ibu. Lalu setelah semua oke kami membagi member SUIJI Suniarsih kedalam 2 tim. Tim 1 yang terdiri dari Keio, Farah, Nyannyan, dan Rena datang ke arisan untuk presentasi serta mengajak mengelola sampah melalui Bank Sampah, sebab menurut cerita Ibu Bariroh, pencetus Bank Sampah Tuwel, sistem berawal dari kumpulan ibu-ibu pengajian yang memiliki visi untuk memiliki lingkungan Tuwel yang bersih. Sedangkan tim 2 terdiri dari Tantan, Rauf, dan Maki melakukan interview ke RT 01 dan RT 02.
Hal menarik dari kegiatan kita siang ini adalah saat tim 1 ke arisan, lalu presentasi tentang pengelolaan sampah dan ajakan mendirikan bank sampah. Satu persatu ibu meninggalkan ruang arisan dan akhirnya salah seorang ibu bertanya, “sudah?” sambil meninjing tasnya. Karena kami tidak enak dengan mereka maka kami jawab sudah. Dan semua ibu-ibu pergi meninggalkan rumah dengan posisi kami yang terkaget-kaget tidak karuan.
Kegiatan Gomi Undokai yang dilakukan di Desa Suniarsih direncanakan secara bersama-sama oleh Tegal site member. Seluruh member datang ke Suniarsih untuk saling membantu persiapan kegiatan ini. Saya merasa bahagia dapat berjumpa kembali dengan kawan-kawan dari desa lain. Ide untuk kembali mempertemukan seluruh member baik Indonesian maupun Japanese tercetus oleh Abichan Sensei. Pada awalnya saya belum memahami maksud dan tujuan dari pertemuan rutin tiap 3 hari sekali. Ternyata setelah saya coba cerna ulang barulah dapat dipahami bagaimana pentingnya pertemuan ini. Saya memahami jika hal ini dapat menjadi ajak temu kangen sesama member dari desa lain, lalu menjadi ajang untuk sharing informasi yang telah didapat, dan untuk mengenal teman yang sebelumnya belum kita kenal. Saya bersyukur dapat mengenal seluruh tegal site member dan itu sangat menyenangkan mengetahui bermacam-macam karakter dari orang lain. Saya pun tidak dapat yakin bisa mengenal teman Indonesia dari desa lain jika pertemuan rutin ini tak dilakukan. Saya salut dengan Sensei yang dapat membimbing mahasiswa sambil turun langsung membenarkan yang kurang tepat dan memberi tahu hal yang tak kami ketahui.
Saya pernah mengikuti kegiatan IGTF di Desa Prambanan, Kabupaten Klaten. Saat itu program yang dilakukan yakni sosialisasi tungku sekam sebagai alternatif sumber energi. Waktu itu saya masih tingkat 2 dan merasa belum sangat expert untuk membawa program ini ke masyarakat. Dan saat terjun di masyarakat Prambanan, mereka menuntut mahasiswa untuk membawa inovasi yang baru disertai kepraktisan penggunaannya. Saya yakin benar bahwa inovasi tungku sekam merupakan salah satu inovasi di bidang energi yang menarik ketika dunia menuju keadaan minyak dan gas bumi habis. Manusia di dunia sebagian besar sangat tergantung pada energi fosil sebagai bahan bakar, bahan aspal jalan, dll. Prambanan memiliki komoditas penting yakni padi rojolele. Padi ini ketika ditanak menjadi nasi yang pulen dan wangi seperti pandan. Maka area sawah warga desa cukup luas menyebabkan limbah sekam juga melimpah. Disinilah potensi tungku sekam sebagai alternatif sumber energi yang murah dan ramah lingkungan. Ramah lingkungan disini sebab memanfaatkan limbah sekam sebagai bahan bakunya. Namun disamping itu masih ada kekurangan dari tungku sekam ini, yakni tingkat kepraktisan yang masih kecil, sebab tungku sekam tidak bisa ditinggalkan lama. Apinya akan padam dan sekamnya tidak terdistribusi dengan baik, berbeda halnya dengan gas bumi yang dapat ditinggalkan selama setengah jam untuk memasak air. Selain itu tungku sekam mengeluarkan asap yang menyakiti mata. Warga desa Prambanan kurang tertarik dengan tungku sekam ini. Kami sudah mengajak bapak-bapak untuk bersama-sama mengetahui cara membuat tungku sekam dan mensosialisasikan demo masak menggunakan tungku sekam di depan ibu-ibu PKK. Beberapa komentar yang muncul adalah tidak praktis dan asapnya menyakiti mata.
Sama halnya ketika saya mengikuti SUIJI SLP 2015 di Suniarsih, Tegal. Warga desa disini sangat tertarik dengan kedatangan kita. Walaupun respon terhadap program yang kami tawarkan, yakni bank sampah, belum cukup membuat warga desa tertarik dan antusias. Saat SUIJI saya rajin berkeliling desa untuk mengamati keadaan warga dan kondisi karakteristik wilayahnya. Padahal saat IGTF saya lebih sering tinggal di rumah tanpa agenda dan jalan-jalan ke Jogja. Bahkan tidak satu fasilitas pendidikan di desa Prambanan yang kami kunjungi. Berbeda halnya dengan di Suniarsih. Kami berkunjung dan berbagai pengetahuan dengan anak-anak Paud, SD, SMP, dan MTS. Prambanan cukup strategis dengan moda transportasi dan fasilitas umum. Contohnya saja di Prambanan itu hanya cukup berjalan kaki ke jalan raya di depan maka bus antar kota dan antar provinsi sudah tersedia. Di Suniarsih hanya ada pick up yang tersedia. Sehingga warga Suniarsih masih belum terbiasa dengan orang asing. Berbeda halnya dengan Prambanan yang memiliki objek wisata Candi Prambanan yang banyak dikunjungi turis lokal dan turis asing.
Untuk persoalan yang sedang “in” di masyarakat pedesaan, saya rasa urbanisasi banyak terjadi di kalangan warga desa. Saat kami melakukan interview dengan warga, beberapa dari  anggota keluarga yang masih muda dalam usia kerja banyak yang pindah ke perkotaan seperti Bandung, Jakarta, dan Semarang untuk merantau mencari pekerjaan disana. Beberapa dari warga desa yang diinterview menyatakan anggota keluarga mereka menjual nasi goreng di kota dan ada beberapa yang kerja di pabrik. Lalu terpikir dibenak bahwa warga desa usia tua yang bermatapencaharian sebagai petani tidak memiliki penerus ilmu pertaniannya, sebab generasi mudanya lebih memilih bekerja di kota. Padahal jika tidak ada penerus maka siapa lagi yang dapat melanjutkan sistem pertanian yang sudah dilakukan puluhan tahun bahkan ratusan tahun lalu atau bahkan lebih. Pantas saja bawang putih di Tuwel atau di Bojong sudah sangat sulit. Sebab generasi muda petani tidak ingin bekerja sebagai petani. Padahal mamaku menanyakan bagaimana kabar pertanian bawang putih di Tegal. Itu pertanda bawang putih merupakan potensi yang sudah dikenal banyak.
Saya belum tahu bagaimana mengatasi 2 problematika di atas mengenai urbanisasi dan hilangnya ilmu pertanian bawang putih. Dua hal itu erat kaitannya dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi. Saya rasa hal itu harus jadi perhatian serius agar laju urbanisasi dapat dikendalikan dan potensi pertanian desa dapat ditingkatkan.
Proses belajar dan “bergaul” yang saya alami saat SLP menuntut kemampuan adaptasi yang baik dan skill pengontrolan diri. Saya sudah terbiasa dengan kondisi cuaca di Suniarsih yang rutin hujan dan berkabut, sebab rumah saya juga ada di kaki gunung. Adaptasi yang cukup sulit saya lakukan yakni berinteraksi dengan orang Jepang. Saya berasal dari desa di Jawa Barat, walaupun fasilitas sudah cukup baik namun tetap saja saya orang desa. Namun saat harus satu rumah dengan orang Jepang yang cukup kontras dari segi budaya, makanan, kepercayaan, dan kebiasaan membuat saya harus ekstra adaptasi dan berhati-hati. Teman-teman dari Jepang belum terbiasa dengan makanan dan minuman di Indonesia yang identik dengan rasa, manis, asin, dan pedas. Tiga orang kawan Jepang di Suniarsih mengalami diare selama beberapa hari, walaupun tidak parah namun penyakit itu sudah cukup membuat saya sebagai ketua Suniarsih member mendapat “semprotan” dari Sensei. Saya tidak khawatir ataupun sakit hati kok dengan hal itu, malah saya merasa senang karena ada yang memperhatikan dan peduli.
Tidak ada konflik besar yang kami alami, hanya beberapa kali saya terjadi ketidaksamaan pola pikir dan pengambilan keputusan. Tetapi hal itu dapat teratasi dengan kelapangan member satu sama lain. Rauf terkadang keras kepala jika ada ide yang kontras dengan pemikiran di kepala dia, namun pelan-pelan saya sebagai leader dan member lain menjelaskan maksud dan urgency ide yang tercetus tersebut. Semua kami selalu berusaha komunikasikan dengan baik antar member. Termasuk saat bergantian masuk toilet, kami saling menurunkan ego masing-masing. Saya salut dengan Suniarsih member yang selalu bercanda tertawa terbahak-bahak, hingga sesi mengenal satu sama lain lewat sesi “Who am I?”. Di sesi itu kami saling memaparkan kepribadian sendiri dan saat ada pertanyaan menjawab dengan jujur. Bahkan kami harus mengetahui hobi, akun media sosial, punya pacar atau tidak, sudah punya mantan berapa, dan makanan kesukaan apa. Pertama-tama terbersit pemikiran itu hanya hal sepele, tetapi ternyata hal itu yang mendekatkan kita melalui saling kenal satu sama lain.
Tapi satu hal yang membuat saya salut dengan Pa Lurah dan keluarga ialah mereka rela pindah ke rumah bagian belakang selama kami 2 pekan tinggal disana. Padahal rumah bagian belakang itu sangat dekat dengan tebing dan jika malam hari terasa dingin. Pa Lurah dan keluarga dengan senang hati mempersilahkan kami untuk tidur di kamar dan menggunakan selimut mereka, padahal mereka tidak masalah untuk tidur di lantai beralaskan tikar dan kain sarung. Ibu lurah pun begitu baik mengurusi kami seperti halnya anak beliau sendiri. Saya beberapa kali meminta maaf saat harus membuat bising rumah mereka di malam hari dan merepotkan ibu untuk memasak dengan porsi lebih dari biasanya untuk kami. Bapak, Ibu, dan keluarga itu tipikal orang yang mau belajar dan berbagai. Saya kagum dengan keikhlasan mereka.
Beberapa hari sebelum keberangkatan ke desa, saya membayangkan di Desa Suniarsih itu sangat menyeramkan dan warganya sangat terbelakang untuk hal perkembangan teknologi. Setelah saya tinggal selama 2 pekan bayangan seram dan angker ternyata tidak sepenuhnya dirasakan disana. Tetapi beberapa kepercayaan warga masih ada seperti tidak boleh memainkan instrumen gamelan di desa ini, sebab jika dimainkan maka akan ada bencana yang datang. Lalu dari sejarah pun sebagian besar warga percaya bahwa Suniarsih berasal dari nama seorang wanita yang mengasingkan diri ke hutan lalu tinggal disana sampai ajal datang. Hal menarik yakni desa ini memiliki nama lain yakni Simpar. Dari cerita warga yang saya dengarkan, mbah simpar dulu menyukai Suniarsih dan menyayanginya. Poin lain terkait informsi kepercayaan warga desa ialah cerita yang kami dapatkan dari Pa Lurah, Pa Taseh. Bapak dulu melalukan semedi sebelum berani mencalonkan diri sebagai Lurah Suniarsih. Ada sesajen dan kemenyan yang disimpan di rumah bagian belakang sebagai penangkal dari aura negatif. Bapak menceritakan hal itu di malam hari saat sepi sehingga membuat saya ketakutan. Entahlah ini hal nyata atau tidak saya tidak ambil pusing. Yang terpenting saat menjadi orang baru di desa ini jangan melakukan hal-hal tidak senonoh seperti berzina, berkata kotor, dan sonong menantang penghuni hutan desa.
Motivasi belajar dan turun desa menjadikan saya tetap bertahan selama 2 pekan walaupun menemui banyak rintangan. Saya mahasiswa FMIPA yang tidak memiliki sks untuk KKN atau magang. Beberapa dari departemen atau jurusan di fakultas saya memang mewajibkan KKN dan/atau magang, namun hal ini tidak berlaku dibeberapa departemen lain, termasuk departemen saya. Saya mengikuti IGTF di Klaten dan SLP di Tegal berkat dorongan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman untuk memiliki soft skill yang tidak saya dapatkan di dalam kelas kuliah. Keyakinan begitu kuat bahwa soft skill ini sangatlah bermanfaat saat dunia pasca kampus atau berinteraksi dengan masyarakat. Masih terngiang di benak saat Sensei menyatakan bahwa desa itu kampus dan warga desa adalah buku sang jendela dunia. Saya yakin ilmu SLP ini sangat dibutuhkan mahasiswa, terutama mahasiswa FMIPA.
            Beberapa hari setelah kepulangan dari Tegal, saya mendapat tawaran untuk mengajar di salah satu bimbingan belajar di Kota bogor. Saya merasa itu sebagai kesempatan untuk melatih pengetahuan tentang ilmu yang didapat sampai bangku kuliah untuk persiapan ujian sidang sarjana. Saya mendapatkan beasiswa untuk jenjang sarjana di IPB dan pihak beasiswa itu memiliki program bina desa tiap hari Sabtu sore untuk mengajar anak-anak desa yang masih SD dan yang putus sekolah. Mengikuti SLP membuat semangat bina desa lebih besar dan membuat kita punya kewajiban untuk peduli kepada masyarakat. Rasa peduli dan empati inilah yang masih minim dimiliki oleh para mahasiswa. Saran saya, SLP diwajibkan untuk seluruh mahasiswa dan dosen, sebab masyarakat juga butuh tenaga ahli yang sudah paham betul. Mahasiswa juga menarik perhatian warga desa sebab seperti kepala BAPPEDA Tegal sampaikan bahwa mahasiswa itu bagai bayi, apapun keadaannya tetap lucu berbeda dengan pemerintah desa yang sudah terkontaminasi.

            Saya merupakan mahasiswa tingkat akhir di program sarjana dan di bulan januari saya sudah apply program exchange Alfabet Erasmus dan Februari sudah dilakukan interview, lalu Bulan April akan diumumkan. Saya yakin dengan interaksi mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa asing akan menyebabkan bertambahnya pengetahuan satu sama lain dan tingkat kepercayaaan diri saat harus bekerja secara team work dengan orang asing dari negara lain. Saya sangat antusias untuk berkeliling Indonesia dan dunia untuk mengetahui betapa luasnya dunia dan betapa menarinya budaya-budaya orang lain. IGTF dan SLP menjadi fasilitas untuk belajar di Klaten dan di Tegal, tempat yang sebelumnya belum pernah saya datangi. Saya merencanakan tahun ini akan kuliah exchange di Jerman mengambil Teknik Elektro atau Fisika lalu tahun depan belajar teknologi ke Jepang. Semoga kami menjadi pribadi lebih peduli,cerdas, dan berempati. Terimakasih IGTF. Terimakasih SUIJI SLP. Terimakasih Pa Zaenal, semoga Alloh swt selalu limpahkan kesehatan untuk sensei.

Wednesday, April 6, 2016

Trip seminggu dibawah 3juta to Singapore and Malaysia!



(PART 2 OF 3)


Anyonghaseo :P
Lama ga bersua. Kemaren-kemaren rada mager gitu buat dibikin postingan. So here we are "PART 2". Hahaha. tapi tenang aja gaes, edisi nge-trip ini ga bakal ngalahin season nya sinetron cinta fitri atau bahkan tersanjung kook... bisa keriting jari gw...

cekidot!

PART 1 kemaren sampe dicerita menuju tanggal 17 Januari 2015. Ok kan waktu itu si Nida, Tisa, Abu berangkat dari Bogor ke Bandara Husein Sastra Negara, Bandung tapi gw berangkat dr rumah di Tasik. Mereka bertiga naik bis MGI rute Leuwiliang - Leuwipanjang seharga Rp 65.000,- dan keknya skrg udah 70rb deh tiketnya (terakhir gw naik itu bis biru totol di awal tahun 2016 ini). 

Mereka bertiga naik bis dari depan kampus tepatnya di Halte bis deket Bank BNI Dramaga and itu enak banget karena gausah bergonta ganti angkot untuk naik bis Bandung.
Mereka berangkat jam 8 pagi (Jadwal penerbangan kita pukul 18.30 Bandung-Singapura, Air Asia) dan gw dengan santainya berleha-leha di rumah sampe pas jam 11 si bertiga itu ngechat gw sambil tanya posisi. And you know what, mereka bertiga udah masuk Tol Padaleunyi (Padalarang-Cileunyi). Mampus ini gw masih di rumah dan butuh waktu 2,5 jam dr rumah ke Terminal Leuwipanjang -,- Mulai panik.. Mulai panik.. wkwkwk

Emang dasar cowo ya. sebenernya gw baru packing tadi malam dan pagi inipun belom kelar. wkwkwk. Sesaat muncul wajah-wajah si bertiga yg berubah jadi naga murka bermuka tiga, gegera leyeh-leyeh gw. Jam 11 langsung keluar rumah dan kebetulan Mama lagi ga di rumah jadi ya konci gw simpen di tempat rahasia. gw naik angkot sampe di Pamoyanan trus ganti ke Bis Primajasa arah Jakarta. Di bis itu perasaan udah campur aduk kayak es campur. semua ada -_- panik karena telat, deg degan mau first flight , trus yg paling paling itu gw naik maskapai Air Asia.

Perlu kalian tau! Awal tahun 2015 tepatnya di Januari itu ada kecelakaan maskapai Air Asia rute Surabaya-Singapura. Deg degan ga lu? gimana engga coba, gw kan mau ke Singapura juga, ya walau dari Bandung. tapi tetep aja kan pasti lewat selat Karimata. ituloh perairan deket Pangkalan Bun. Waktu itu hampir tiap menit ada update info pencarian korban dan pesawat oleh Tim Sar KNKT. see! see! itu para korban dan pesawat Air Asia tujuan Singapura belom DITEMUKAN. BELOM DITEMUKAN LOH! Astagfirulloh. Gw sampe ngejelasin berkali kali ke Mama kalo gw udah prepare segala macem utk trip ini. Motif sayang duit dan ga enak sama si bertiga jadi main reason dan tetep belom dapet izin dong. Padahal udah H-7. Trus finally gw dapet quote yang super ampuh mencairkan izin sang Mama. "Ma, Nyawa kita gatau kapan diambil. Bisa kapanpun dan dimanapun. Bisa di pesawat. Bisa di Kereta. Bahkan ditempat tidur pun bisa. Bisa loh." Itu sepenggal quote yang jadi kartu AS turunnya izin. FYI, tahun 2012 lalu itu Alm Bapak meninggal pas beliau tidur. *nangis garuk garuk guling*

Ok! trus gw turun dari Bis Primajasa di depan gerbang Tol Cileunyi dan bis damri yg gw tunggu kagak muncul juga -,- Akhirnya gw putuskan naik Elf rute Garut-Lw.Panjang. Wih ini Elf tau banget gw lagi buru-buru. Tanpa ngetem dan si babang drivernya melaju mantap. mungkin 85 atau 90 km/jam. Tapi dalam hati gw bilang "Bang kurang kenceng, gw bisa dimaki-maki si bertiga nih kalo telat". Hehehe

dan gw nyampe jam 15 di Terminal Leuwipanjang. Langsung nelpon si bertiga dan kagak diangkat dong. rasa bersalah ini makinlah menjadi jadi. ternyata mereka nyampe ke terminal jam 14 dong. wkwkwk cepet bener. dari kejauhan gw liat tuh si bertiga lagi duduk deket pos polisi terminal sambil ada koper di depannya. what? KOPER? *shock* Sambil cemberut mereka ngebully gw. Huft. Kita berencana naik taksi dr Leuwipanjang ke Bandara. karena gw yg bertanggungjawab soal taksi dan gw dateng telat dan juga kita entah kenapa semacam panik gitu takut ketinggalan pesawat (ckckck) jadi gw belom sempet pesen taksi. trus gw memutuskan nawar nawar tuh taksi di terminal. setelah keliling2 dapet yg deal ini taksi 80rb. sampe di Bandara trus cek in dan urus administrasi tiket. Buat kalian yg baru pertama kali trip naik pesawat, gausah panik. biasa aja kok. kita bukan penjahat atau teroris. gw kasih tips singkat nih saat di gate dan melewati pemeriksaan petugas imigrasi:
1. Beli tiket online (bisa lewat airpaz, traveloka, dll) udah gampang bgt
2. Paspor jgn sampe ketinggalan ya
3. Kalo barang bawaan ga banyak mending di kabin aja. kadang kalo kita naik pesawat kelas ekonomi itu soal bagasi suka lama pas ngambilnya. yailah lah kelas eksekutif/bisnis didahulukan
4. Jangan bawa botol 100mL dengan isi penuh cairan, usahakan <100mL yah (semacam sampo, sabun cair, hand body, parfum)
5. Tumblr atau tempat minum dikuras habis ya airnya (tumblr ini perlengkapan wajib bagi backpacker.. hehe)

16.15 counter belum dibuka
kita nunggu di kursi di depan gate

16.45 counter penukaran tiket dibuka dan kita melewati imigrasi.
tapi gate belum dibuka jadi kita diem dulu di ruang tunggu. dan sekilas dr jendela kaca terlihat pesawat yg parkir di Bandara Husein. Wah jantung berdegup makin kecang. Kita berempat melepon keluarga masing2 dan memohon doa keselamatan.

18.00 gate dibuka dan kita udah diperbolehkan masuk tapi kita solat magrib dan isya dulu. kita masih agak parno sama berita pesawat yg belum ditemukan, so mari tunaikan kewajiban solat. hehehe

18.20 kita masuk pesawat. kita jalan kaki dr ruang tunggu ke pesawat. yg gw heran kok ini kita jalan kaki outdoor gini yak di aspal parkiran pesawat. keknya gw liat di film film itu kita ga nginjek aspal parkiran pesawat deh. entahlah ~

18.27 siap siap berangkat. sambil dengerin instruksi dr pilot lalu pramugari. woooo gw mau terbang.

18.30 we flight! dag dig dug der cus creng! lihat gemerlap lampu lampu kota bandung dari udara. saat penerbangan gw memilih untuk ga tidur karena sayang dong udah jauh-jauh ampe kesini malah molor. mending di rumah aja (padahal skrg kalo naik pesawat lebih enak tidur...ckckck). Yang unik adalah gw kebelet pas lagi di pesawat. ebuset kagak bisa ditahan lagi. padahal tadi udah ke toilet pas di bandara. yowis enak ga enak ya gimana lagi mesti ke toilet pesawat. dan sekitar 1 jam berlalu gw malah kepikiran kayaknya skrg lagi di udara perairan selat karimata atau laut jawa deh. ih kesian pesawatnya belum ditemukan. Perjalanan sekitar 2 jam and...we arrived at Singapore! masih belom injek kaki sih di tanah nya tapi heboh nya bukan main. hadeuh. lampu-lampu kota singapura cerah banget. sebagai mahasiswa Fisika sih (alhamdulillah skrg udah lulus) gw kepikiran ini berapa joule energi yg dibutuhkan utk memenuhi kota yg ga lebih gede dari jakarta tapi terang benderangnya luarbiasa. kebayang kalo satu menit aja suplai listrik off. pasti kerugianya bukan hitungan milyaran lagi. lebih dan lebih. secara ini kota pusat segala hal. pusat bisnis, fashion, lalu lintas pesawat internasional (banyak loh pesawat internasional yg transit singapura), dll.

20.30 kaki nginjek lantai bandara yg secara ga langsung nginjek tanah kota yg didirikan Bapak Raffles ini. Finally setelah penantian berbulan-bulan nyampe juga. Hal pertama yg kita lakukan adalah cari keran air! biar isi penuh tumblr! hahaha dasar backpacker. and we found it! langsung meluncur. FYI gw pernah baca di blog blog lain yg bahwa kalo tengah malem sekitar jam 1-3 dini hari selalu ada pengecekan pihak keamanan bandara dan polisinya. daan mereka bawa senjata laras panjang! sambil nanyain "are you in transit or not? where is your ticket?" dengan nada bikin bulu kuduk berdiri. Tapi utk sekarang gw belum bisa membuktikan hal itu karena gw ga transit jadi mesti check out dr bandara dan segala fasilitas kelas wahidnya. serius ini kalo dibagian dalamnya mah fasilitasnya ajibbb! lo mesti coba kalo kebetulan atau disengaja transit dsni.
Bawa backpack (model diperankan Abu dan Tisa)

21.25 Kita udah lewati bagian imigrasi yg katanya horor, sering nanyain kapan balik lagi ke negaramu, atau bawa duit berapa, kadang juga ditanya nginep dimana? -.- untung aja petugasnya ga nanya "kapan nikah? kerja dimana skrg?" gw bisa baper berhari-hari.

21.45 Kita cari cari stasiun MRT dan menemukannya setelah turun 4 lantai. Yes 4. Seperti yg udah gw bilang ini bandara sadis mamen. guede bener. Kita cari cari info pembelian tiket dan jadwal operasional MRT. sebenernya udah sempet kita cari info sih. tapi ini utk memastikan ulang, barangkali ada perubahan atau update sistem. ternyata masih sama dg info yg kita dapet. Jd kita memutuskan utk beli tiket EZ-Link (semacam kartu tapcash, e-money, atau flazz kalo di indonesia). sebenernya ada kartu STP juga sih tapi prinsip ekonomi kita bilang bahwa ez-link lebih pas buat kita. lagian ez-link kan berlaku 5 tahun, sedang STP cuma 1 sampe 3 hari. ya barangkali ntar ada kesempatan mampir lagi kesini. (note: alhamdulillah tahun depannya gw ke singapur lagi. di februari 2016). EZ-link harganya $12 dengan saldo $7.

22.15 Karena waktu udah malam dan tadi pas kita berangkat itu cancel booking di salah satu hostel di daerah chinatown. also kita udah boong sama petugas imigrasi bahwa kita akan menginap di daerah geylang utk malam ini. jadi kita putuskan menginap di bandara. ya bandara. ini mah demi ngegembel parah. di negri sendiri aja kagak pernah tidur di stasiun, terminal apalagi bandara. lah ini mana di negara orang lagi, bikin masuk angin pula. tapi ya ternyata itu hal yg bikin historical. serius ini kadang bikin ketawa sendiri kalo ingetnya.
Abu Rizal lagi ngeronda

Nida Nurlivi lagi ngeronda

23.00 kita duduk di tepian pintu keluar bandara. kita masih di area gedung bandara tapi ya no luxury facility kayak kalo lagi transit. lantainya ya keramik bukan karpet. pasti dingin lah. hahaha. gw sampe heran pas keluar pintu bandara panas banget tapi didalam ini AC ga diturunin dikit ngapa. kagak tau apa dinginnya bikin gw kentut sepanjang malam gegara masuk angin. sebenernya karena baca di blog itu kita takut ada keamanan bandara atau polisi yg tadi gw ceritain bawa laras panjang dan nanyain tiket jadi kita putuskan untuk bikin sistem ronda malam. buset dah badan udah cape padahal. jadi sistem ronda ini kita bagi 2 tim. dimana 1 tim itu terdiri dari 2 orang. nantinya setiap sekitar 1 jam akan ada 1 tim yg tidur jagain barang bawaan kita lalu tim lain keliling bandara sambil night explore. keren kan? ckckck. FYI setelah kita semalaman melakukan hal ini ternyata gaada itu satpam yg nanya begituan.

18 Januari 2015
04.00 *waktu singapura* kita berempat stop aksi ronda malamnya dan molor semua di kursi. masih dengan perasaan cemas akan ada polisi (padahal engga adaaaaa). soalnya banyak banget yg tdiru gelapakan dibandara. ya banyak. sori bukan cuma wajah macam gw aja, tp yg orintal dan bule juga banyak yg gelapakan. serius banyak. ini mah ngegembel berjamaah dah. satu hal yg bikin gw terpukau. pas waktu kebangun ga sengaja itu gw liat ada pramugari dan pilot lewat. kayanya utk penerbangan pagi buta deh. gw jadi kepikiran utk kerja di bidang transportasi khususnya penerbangan. kayaknya seru gitu. hehehe

05.00 *skrg dan seterusnya waktu singapura*
kita siap siap  utk solat subuh dan bersih bersih diri dari bayang bayang upil dan iler :P Sambil isi tumblr sampe penuh di keran minum. kita beli tiket MRT. seperti yg udah gw jelasin diatas kalo kita putuskan beli ez-link. ticketing system nya pakai mesin jadi ya walau jam 5 udah bisa beli tiket. 24 jam pasti machine mah. we went to Aljunied station from Changi station. Oh ya nama bandara singapore itu Changi Airport. lucu yah namanya. Aljunied itu stasiun utk daerah Geylang. because we decided to find a hostel there (kita yakin ini bukan masa masa liburan orang orang pada umumnya, jd pasti ada hostel yg kosong).

05.50 we are at Geylang. katanya ini wilayah merah disini. merah itu mksdnya cukup rawan dr segi keamanan dan kenyamanan. Serius ini masih gelap gulita dan kita bawa bawa tas ransel gede plus koper. ya koper. di pagi buta gini. wkwkwk. Lalu skill bahasa kita dipake juga dah. Nanya sana sini kemana arag menuju 26 Geylang. Jd dsni nama jalannya pake nomer. soalnya ga kayak di Indonesia yg jalan utamanya keliatan. nah kalo disini jalan-jalan kecilnyajuga lebar dan beraspal juga rapi, jadi mungkin utk memudahkan ya pake sistem nomer.

Kami memutuskan untuk berkeliling mencari cari hostel yang harganya terjangkau (baca: murah :P) dan kosong. Serius ini dari pagi buta sampe sekitar pukul 7.30 belum nemu jugaaaaa. dedek cape! dedek lelah! dede pen bobok! Trus Abu usul nih agar kita mecari Mesjid Khadijah. Mesjid ini tentunya berada di daerah Geylang dan ada air minum gratis. hehehe. Alhamdulillah setelah muter muter ternyata nemu juga. Mesjid ini sepi banget. Yaiyalah wong ini pagi dan orang2 lagi pada gawe. Pintu mesjid terbuka dan kami bahagia. Abu dan Tisa melakukan solat dhuha. Sedangkan gw malah selonjoran di kursi di beranda mesjid. Yaalloh maafin baim yaalloh. Baim lalai :( Abu dan Tisa sempet nyuruh gw utk solat, tp gw berkilah lagi jaga tas dan kopernya Nida (yg saat itu lagi ke toilet).

Trus setelah diskusi alot kita memutuskan bagi tim utk survei hostel. sebab kalo musti bawa2 backpack dan koper pasti luar binasa tubuh awak. Abu dan Tisa jadi grup pertama yg akan survei cari hostel, sebab kaki gw masih nyut-nyutan (alesan aja sih sebenernya pen leyeh-leyeh :P).

08.07 Tim pertama balik lagi sebab udah pegel dan failed! Lanjut Tim kedua (gw dan Nida). Kita tanya ke tim pertama apa udah survei kemana aja trus dapet info apa aja. Setelah itu langsung deh kita GO! Gw dan nida keliling sana sini. Kalo diperhatiin, arsitektur bangunan disini bergaya old town gitu. Jadi kayak udah sepuh banget tapi ya terurus gitu. Seneng sih kelilingnya. Cuma
1. Hati hati kalo nyebrang usahakan di zebra cross
2. Jaga barang bawaan yg berharga, ya barangkali lu bawa emas berlian atau sejuta dolar :P
3. Usakan selalu bawa air minum, karena cuaca dipagi hari cukup panas. Apalagi siang
4. Blok Geylang 27 paling deket stasiun Aljuined. Blok Gelyang 1 entah dimana. Gw ga kuat nyarinya. Jauh. wkwkwk

08.35 Tim dua nemu hostel 89 (kalo ga salah). Hostel ini deket stasiun Aljuined. Harganya cukup terjangkau. Sekitar $18 per orang. Tapi setelah kita masuk ternyata mba resepisonisnya lagi keluar. Oke kita tunggu. Gw dan Nida memutuskan menunggu di tangga hostel sampe ketiduran. eh serius kita tidur +_- wkwkwk FYI tangga hostel di singapura rata-rata ada di dalam ruangan. Jadi kalo dari luar itu cuma keliatan Papan marka hostel dan satu pintu masuk. Satu loh yah. Jadi lu kayak masuk lorong waktu gitu. hehehe. Ya kalo hotel sih beda cerita.

08.55 Buset ketiduran 20 menit dan nyeyak. wkwkwk. Gw kebangun dan ngebangunin nida. Nid, plis kita kek gembel ini mah. fix banget. pas gw cek ke dalam ternyata di mba resepsionis udah balik. horeee. eh wait tadi si mba lewat mana ya? ngalangkahin kita yg lagi molor dong. ebuset -_-

09.01 Tim dua kembali ke mesjid menemui Tim satu dan ternyata Tim satu bertemu dengan seorang bapak berambut gundul gitu. Beliau warga Singapur dan bersama istrinya warga Indonesia (entah istrinya atau saudaranya atau apa sih. Kita bingung harus nanya itu status mereka gimana caranya). Beliau bernama Zahar. Usia 42 tahun bekerja di Changi Airport dan lulusa Nanyang. What? Yes Nanyang. Pinter banget pasti. Trus karena lihat abu dan Tisa solat dhuha jadi beliau berbaik hati mengantar kami sampai ke hostel 89 tadi. Pas ke 89 itu eh si mba resepsionis kagak aga lagi. deuh kemana lagi mbaaaaaaaaa. ngana lelah. Setelah nunggu lama dan ga dateng wae. Akhirnya kita bilang ke Pa Zahar utk menginggalkan kami sebab kami ga enak kalo dianter apalagi ditungguin. Eh tapi beliau baik bener dan bersedia nganterin. Entah siapa yg pertama kali nyadar ternyata ada hostel juga di sebrang si 89 itu. Gw lupa nama hostelnya. Langsung deh kita kesana daaaaan resepsionisnya seorang wanita berparas oriental. Agak jutek sih dan Abu, Tisa, Nida gamau ngomong sm dia. Yowis gw sih seneng ketemu wanita oriental :P Setelah nanya harga, kosong apa engga, dll FINALLY kita berempat cocok dan nginep disini.
FYI
Kita booking dulu semalam, soalnya takut besok nemu hostel lain yg lebih strategis, terjangkau, dan nyaman.

09.32 Urusan hostel udah kelar. Trus Pa Zahar nanya ke kita tentang tujuan jalan-jalannya. And you know what! kita diajak jalan-jalan naik mobil beliauuuu keliling Singapur dengan destinasi
1. Pantai East Cost
2. Sentosa Island
Sepanjang perjalanan gw ngerasa subhanalloh barangkali ini berkat doa-doa Abu dan Tisa saat solat dhuha tadi. Nikmat banget jalan jalannya soalnya jadi lihat spot-spot kehidupan warga lokal dari berbagai sudut.
Trio macan at east coast beach (Tisa, Abu, Nida)

09.47 Kita sampai di East cost! Hal pertama yg pen gw rasain adalah mitos "pasir di pantai di Singapura itu hasil impor". Entahlah. Gw pun gapunya sumber yg bener. Mungkin cuma mitos atau kabar burung. Tapi ya mayan utk lepas penat dan lelah. Pantainya bersih dan terlihat dr kejauhan ada banyak kapal kapal sedang melaut. Setelah menikmati deburan air kami pergi menuju salah satu Plaza. lagi-lagi gw lupa namanya. Pokoknya di Plaza itu banyak orang Indo nya. Banyak TKI dan TKW yg habiskan waktu libur disana. Nida dan Tisa pen nuker dolar ke Malaysia Ringgit. Yowis dianter si mba istrinya Pa Zahar. Gw dan Abu sok sokan ngobrol gitu sama Pa Zahar dan minta kontak beliau.
Foto bersama Pa Zahar dan Istri

11.27 Kita ada di terowongan bawah laut yg hubungkan Singapore Island dengan Sentosa Island. Kereeeen. Selama ini cuma ngerasain terowongan bawah tanah, tp skrg bawah tanah laut. Kayak sea world dong? Ya mirip begitu, tapi ini pake tembok bukan kaca, jd ga keliatan lautnya. Kami sampai di salah satu Mall yang jadi perhentian Pa Zahar mengantar kami. Setelah gw liat peta, wih jauh juga pak dari Geylang dan East Coast yg ada di timur trus dianter ke selatan. Gamsahamida Pak Zahar :) 
Suasana terowongan bawah laut
11.36 Kita naik lift ke lantai 4 untuk ke Sky Train dari Mall ke Sentosa Island. Sebenernya ada trak jalan kaki dari Mall ke Sentosa dan itu indah viewnya. Tapi waktu itu kita gatau. Yowis naik skytrain deh. harganya $4 untuk pp. sebelum naik skytrain ita sempatkan makan siang di taman yg ada di dekat stasiun sky train. tamannya lumayan luas dan rumputnya segar. ada kolamnya juga buat rendam kaki. Banyak org yg leyeh leyeh makan dan nyantai disana, jd gausah gengsi. hehe

11.53 we are at Sentosa Island. Hal wajib adalah berfoto didepan globe Universal Studio. Jadi itulah spot tujuan utama kami kesini. Puas nikmati Sentosa kami memutuskan untuk pulang sebab badan dedek pegel linu. Kami pulang ke hostel dengan menggunakan MRT. Cukup jauh ternyata. Sekitar 8 stasiun kita lewati (Dari Harbour Front ke Aljuined).
FYI kalian harus pintar baca peta MRT nya yah. soalnya bisa transit ganti line (jalur) gitu dan ambil jarak terdekat dr asal ke tujuan kita!
Sampai di hostel kami langsung bersih bersih diribersih bersih diri dan solat, lanjut TEPAR.....zzZZZ
Tantan Taopik Rohman at Universal Studio's Globe

Saking lelahnya kami baru kebangun malem. wkwkwk. Dan cari makan deh di sekitaran hostel. Kita keliling cari tempat makan dan dapat di salah satu tempat makan India. Insyaalloh halal. Hap makan!

Next akan cerita hari ketiga, keempat di Singapura dan Hari petama, kedua, terakhir di Malaysia.
See you at LAST PART!