Friday, January 18, 2013

Pendidikan Karakter Melalui Film


KEKALAHAN Timnas Indonesia menjadi antiklimaks masalah nasionalisme dan kecintaan rakyat Indonesia terhadap negerinya sendiri. Keberangkatan Timnas tanpa diiringi hiruk pikuk dukungan dan doa dari segenap elemen negara termasuk pemerintah dan masyarakat Indonesia menjadi indikasi lunturnya rasa cinta terhadap negeri ini.  
Ibu Pertiwi saat ini mungkin menangis pilu menyaksikan bergesernya kebanggaan bangsa Indonesia. Padahal, sebagai negara biodiversity, Indonesia kaya akan budaya dari berbagai penjuru mulai Sabang sampai Merauke. Keberagaman budaya tersebut menjadi keunikan luar biasa yang tidak ternilai harganya. Budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia telah mengangkat negeri ini dan banyak dikenal akan kerukunan dan spirit perjuangan hebat.

Namun kehebatan tersebut seakan sirna oleh waktu, sebagian warga negara ini tidak peduli pada eksistensi dan kemuliaan yang telah dibangun oleh nenek moyang Indonesia, rasa nasionalisme semakin berkurang dan seakan hilang ditelan sang waktu. Cobalah perhatikan saudara-saudara kita di daerah perbatasan, mereka adalah serambi muka Indonesia dengan bangsa lain yang notabene negara tetangga. Mereka menjadi pionir pertama dan merekalah orang-orang pertama yang secara tidak sadar menjadi pemuka bangsa dalam mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia. Apabila sudah tidak tersisa lagi rasa cinta pada Indonesia, yakinlah bahwa tidak akan lama lagi daerah-daerah perbatasan lebih memilih melepas statusnya sebagai Warga Negara Indonesia dan mengajukan permohonan kewarganegaraan baru dari negara seberang.

Begitu penting dan strategisnya keberadaan warga Indonesia di daerah perbatasan dan seharusnya mereka turut diberi perhatian oleh pemerintah. Tapi akhir-akhir ini terdengar begitu banyak kabar kurang enak tentang kehidupan dan keseharian mereka. Warga negara Indonesia di daerah perbatasan Indonesia banyak yang sudah terbiasa menggunakan mata uang Ringgit Malaysia sebagai alat tukar dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan transaksi dilakukan langsung dengan warga Malaysia di seberang sana dan tidak sedikit dari mereka yang tidak tahu Rupiah atau mata uang negara Indonesia.

Sebagian besar dari warga Indonesia menjual berbagai pernak-pernik khas suku-suku di Kalimantan, seperti pernak pernik Suku Dayak serta kain-kain tenun yang dikenal oleh dunia internasional sebagai kain tenun yang indah nan eksotis. Memang kita tahu bahwa batik, alat musik angklung, keris, serta Candi Prambanan telah diakui UNESCO dan belum lama ini sistem irigasi Subak di Bali juga telah diakui dunia internasional, lalu bagaimana dengan warisan budaya Dayak tersebut diakui menjadi pertanyaan yang cukup frontal.

Faktanya, kebanyakan dari kita tidak mengetahui bahwa kain tenun masyarakat Kalimantan sangatlah eksotis, tetapi ternyata masyarakat Indonesia sendiri kurang mengenal kain tenun dan pernak pernik khas masyarakat Dayak. Usut-usut, pernak-pernik tersebut banyak dijual langsung ke pedagang-pedagang pasar di Malaysia, dan warga perbatasan menjualnya dengan harga yang terbilang murah kepada pembeli dari Malaysia, padahal kain tenun dan pernak-pernik khas Dayak sangat digemari oleh wisatawan asing. Selain itu, akses dan fasilitas umum sangatlah jauh dari kata layak. Di salah satu titik perbatasan antara Malaysia dan Indonesia terdapat dua buah bendera, bendera kebangsaan Malaysia berkibar begitu elegan dengan kain yang bagus dan bersih serta tiang besi bercat putih sedangkan bendera lainnya adalah bendera kebangsaan Indonesia. Hal ironi terlihat di sana, karena bendera Indonesia terpasang menggunakan bambu yang sudah berwarna coklat tua dengan benderanya yang sudah kusut tidak terlihat adanya keindahan serta perawatan untuk tanda negara Indonesia.

Kesenjangan juga terlihat pada fasilitas umum seperti jalan. Jalan perbatasan yang masuk ke dalam kedaulatan Malaysia terbuat dari aspal hot mix yang dapat dilalui kendaraan dengan nyaman. Sedangkan di sisi lain, yakni jalan perbatasan yang masuk kedaulatan Indonesia tidak sedikit pun ada aspal terlihat dan bahkan tanahnya sangat menyulitkan baik bagi pejalan kaki maupun kendaraan untuk melintasinya. Itu mungkin hal kecil, namun sangatlah penting. Ibarat sebuah rumah, serambi pada umumnya terlihat lebih bagus dan bersih sebab tempat pertama yang dilihat tamu adalah muka. Oleh karena itu, haruslah dirawat sangat baik agar tamu merasa segan masuk ke dalam rumah.

Begitu juga dengan negara Indonesia yang memiliki daerah perbatasan di Pulau Kalimantan. Banyak kegiatan dan event dilaksanakan untuk mendukung terlaksananya sosialisasi mengenai daerah perbatasan. Misalnya iklan-iklan masyarakat di televisi dan berita-berita di media cetak. Berbagai artikel dari para penulis pun berusaha memaparkan dan menggambarkan keadaan yang memilukan di daerah perbatasan sana. Terasa cukup berhasil memang, namun ternyata tidak berimbas banyak untuk perubahan kehidupan masayarakat perbatasan. Oleh karena itu, pendidikan karakter dan rasa mencintai bangsa Indonesia bisa juga dilakukan melalui film-film yang beredar umum di khalayak. Film memiliki daya “sihir” yang dapat membuat seseorang tersenyum hanya karena menonton suatu tayangan walaupun dalam hitungan detik. Film bisa juga membuat para penonton meneteskan air mata karena menonton acara-acara sedih serta bisa juga membuat seseorang menjadi marah karena menyaksikan kekejaman suatu pemimpin diktator yang secara brutal menghabisi ribuan nyawa warganya.

Hal-hal tadi bisa dengan mudah dilakukan dengan menonton film. Ternyata film mempunyai efek “magic” cukup kuat dalam memengaruhi orang. Pendidikan karakter bangsa bisa dilakukan dengan dibuatnya film-film mengenai perjuangan warga Indonesia dalam mempertahankan idealisme dan keyakinan rasa cinta pada Indonesia. Salah satu film yang cukup menggugah yakni film berjudul “Tanah Surga Katanya...”.  Film tersebut mengangkat perjuangan warga-warga perbatasan Indonesia dalam mengadang arus kecintaan menjadi penduduk Malaysia. Diceritakan dalam film tersebut salah satunya mengenai seorang anak yang rela menukar kain sarung yang baru dibelinya dengan bendera Indonesia yang digunakan seorang pemulung sampah sebagai tempat bagi sampah hasil pulungannya. Anak tersebut tidak kuasa menyaksikan Sang Saka Merah Putih diinjak-injak harga dirinya oleh orang lain di sana.

Tak jauh berbeda dengan kenyataan yang ada pada para pejabat negeri ini. Belum lama ini kita menyaksikan polemik dunia sepakbola Indonesia yang dicampuradukkan dengan berbagai kepentingan politik para tersangka sepakbola. Timnas Indonesia berangkat ke Malaysia tanpa dukungan penuh dari segenap warga Indonesia. Mereka berangkat dengan rasa pilu tanpa spirit luar biasa yang disuntikkan pada mental mereka. Dan kekalahan dari negeri Jiran menjadi pukulan telak yang menunjukkan bahwa nasionalisme dan integritas segenap warga Indonesia haruslah diperbaiki. Rasa cinta dan bangga akan kedaulatan bangsa Indonesia seharusnya ditumbuhkan dengan teknologi–teknologi yang mumpuni. Dunia perfilman memang cukup gencar menghasilkan karya-karya terbaiknya yang membawa misi pendidikan karakter dan nasionalisme Indonesia. Cerita-cerita yang diangkat merupakan kisah-kisah dari berbagai pelosok Indonesia, baik kemiskinan dan kekumuhan di daerah perkotaan seperti Ibu Kota, juga kisah-kisah perjuangan penduduk Indonesia di pelosok sana seperti di daerah terpencil dan daerah-daerah perbatasan. Film memiliki kekuatan influence bagi para penontonnya.

Apa pun yang terjadi, jangan sampai menghilangkan rasa cinta terhadap negeri ini;  Indonesia tercinta.

Tantan Taopik Rohman
Mahasiswa S-1 Fisika
Institut Pertanian Bogor

Artikel ini dimuat di media online okezone.com
http://kampus.okezone.com/read/2012/12/13/95/731852/pendidikan-karakter-melalui-film