SUIJI SLP 2015 |
Saya Tantan Taopik Rohman, mahasiswa Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) di kampus IPB. Alasan pertama saya mendaftar kegiatan service learning program (SLP) ini ingin belajar dari budaya orang Jepang yang dikenal pekerja keras dan memiliki etos kerja tinggi, serta empati lebih baik dari masyarakat Indonesia. Saya pernah ke Singapur dan mengamati banyak perbedaan perilaku warganya. Mereka begitu rukun antar etnis, baik etnis Melayu, Tiongkok, India, dan minoritasnya. Selain itu tata kota yang rapi didukung kesadaran masyarakatnya akan kebersihan, keteraturan, dan keamanan menjadikan sudut-sudut kota tertata rapi dan bersih. Akan sangat sulit menemukan sampah dan gembel disana. Hal yang sama mungkin juga dapat dijumpai di Negara Sakura, Jepang.
Saya
sangat tertarik dengan tingkat kepedulian warga Singapura dan Jepang terhadap lingkungan
sekitar dan tata wilayahnya. Entah mengapa masyarakat Indonesia yang dikenal
ramah dan gotong royong namun kepedulian dan kesadaran terhadap kebersihan
masih jauh tertinggal dari pada warga Singapura dan Jepang. Dengan mengikuti
program ini harapannya saya dapat meningkatkan kapasitas diri dan empati
terhadap warga desa dan lingkungan, sebab generasi muda butuh proses regenerasi
dan pembelajaran yang matang.
Problematika
yang dijumpai yakni mayor saya tidak memiliki sks untuk SLP. SLP menjadi wadah
bagi mahasiswa untuk berinteraksi dengan warga desa agar memahami fakta dan
realita yang sebenarnya sulit dijumpai di dalam kelas perkuliahan. Akan sangat
berbeda saat kita belajar teori dari dosen dibandingkan saat turun langsung ke
masyarakat desa, dibutuhkan kemampuan beradaptasi dan komunikasi yang baik.
Padahal semua mahasiswa pasti berinteraksi dengan masyarakat walaupun pada
intensitas kecil. SLP tidak hanya memfasilitasi hal itu namun juga memberi
pengalaman sebagai bekal membangun kepribadian. Belajar memahami akan sangat
sulit jika harus dipandang dari berbagai sudut pandang berbeda. Setelah
mengikuti SLP saya banyak menjumpai berbagai potensi wilayah dan permasalahan
di Desa Suniarsih, Tegal.
SLP
hendak mengajak mahasiswa untuk memiliki empati yang baik, memiliki pengalaman
berharga sebagai bekal hidup, dan belajar memahami. Program ini tidak hanya
sekedar berkunjung saja melihat-lihat desa atau pertanian, namun belajar
memahami dari sudut pandang lain yang sangat menarik untuk diamati dan
ditelusuri lebih dalam.
Kegiatan
efektif dilakukan dari 26 Februari hingga 10 Maret 2015. Pada 27 Februari kami
melakukan penanaman Pohon Pinus (Pinus
Merkusii) di dekat sungai. Pa lurah banyak melakukan pembibitan pinus yang
nantinya dibagikan secara gratis kepada warga Desa Suniarsih. Kami belajar
pengelolaan bank sampah di Tuwel pada Hari Minggu 1 Maret. Hal menarik yakni
tujuan Bu Bariroh sebagai pengurus bank sampah Tuwel, untuk memberikan kegiatan
positif bagi ibu-ibu pengajian Tuwel dan membersihkan lingkungan desa dari
sampah. Omzet yang mencapai Rp 22juta per bulan membuat saya kagum. Pendapatan
digunakan untuk biaya operasional kepengurusan bank sampah dan program pengajian.
Beliau menyatakan bahwa akan menjadi suatu kebahagiaan tersendiri ketika
lingkungan Tuwel menjadi bersih dari sampah.
2
Maret kami bertemu guru-guru Paud, SDN 1 Suniarsih, dan MTS At-Tarmasie untuk
meminta izin agar memberikan waktu bagi kami bertemu para siswa. Lalu memasak
makanan Jepang dan melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga desa. Ketika
bertemu guru-guru di Paud begitu terasa suasana ceria saat mengajari anak-anak.
Saya merasakan begitu sulitnya mengajar anak-abak kecil yang masih gemar
bermain, belum bisa bedakan yang baik atau buruk, dan susah diatur. Bekerja
menjadi seorang guru bukanlah hal mudah sebab harus melatih hal-hal baik agar
terbentuknya kepribadian murid yang baik. Saat ke SD disambut Pa Khobuli wali
kelas 5, beliau merantau dari Purwokerto untuk mengajar disini. Awalnya kami
hanya meminta waktu 1 jam untuk bertemu anak kelas 5, namun beliau menyinggung
kuliah yang bertahun-tahun hanya bertemu anak SD 1 jam saja. Padahal pengabdian
untuk negara haruslah lebih banyak, mengingat saya dapat berkuliah dengan
bantuan subsidi PTN dan beasiswa perusahaan swasta. Saya merasa malu dengan
pernyataan itu.
Cultural sharing yang dilakukan
berupa memasak makanan Jepang lalu diberikan kepada warga desa sambil
mendatangi rumah-rumah, mengajari Bahasa Jepang, dan membuat origami-origomi.
Saat memasak, mahasiswa Indonesia membantu proses memasaknya sehingga terlihat
kerjasama yang menarik untuk diamati. Walaupun agak terkendala bahasa untuk berkomunikasi
namun dengan adanya rasa saling tolong menolong membuat dinding pemisah yang
tinggi antara Jepang dan Indonesia menjadi luntur lalu kami larut dalam suasana
bahagia dan ceria. Saya amat bahagia saat Makki, Rena, dan Keio menjadi recovery mood dengan kegiatan ini. Mendapatkan kebahagiaan itu dapat dengan
cara sederhana ternyata.
Setelah
selesai memasak kami hendak berkeliling ke rumah-rumah warga desa untuk
menawarkan mencicipi masakan Jepang sambil berbincang hangat. Namun hujan yang
turun sejak siang tidak kunjung reda malah semakin deras. Waktu sudah
menunjukkan pukul 7 malam namun hujan tak kunjung reda. Lalu Keio dengan
lantang menyatakan untuk segera berangkat karena makanan akan segera tidak enak
jiga didiamkan terlalu lama. Kemudian kami memasukkan makanan ke tempat makanan
untuk piknik dan sisanya dimasukkan toples plastik. Akhirnya kami melakukan
piknik malam-malam keliling desa sambil gunakan payung dan jas hujan. Sedikit
lucu memang. Kami berkunjung ke tiga rumah, Pa Saman, Pa Tasmin, dan Pa Asep.
Dari ketiga rumah warga yang dikunjungi, kami berbincang hal pengelolaan sampah
di rumah, ada atau tidaknya tempat pembuangan sampah (TPS), perlu atau tidaknya
Bank Sampah, dan kapan dilakukan kerja bakti membersihkan desa.
Warga
desa sudah melakukan pemilahan sampah organik dan non organik namun belum ada
TPS dan Bank Sampah yang tersedia. Sampah organik banyak dibuang di kebun di
belakang rumah sedangkan sampah non organik dibuang ke hutan. Hal yang membuat
saya kaget yakni pernyataan pembenaraan bahwa saat membuang ke hutan itu karena
alasan itu lahan milik sendiri, jadi ngapain
harus mendirikan bank sampah. Paradigma warga masih sangat sulit untuk diajak
mendirikan bank sampah.
3
Maret 2015 kami ke Sekolah Dasar Negeri 1 Suniarsih dan ke PAUD. Di Paud hanya
saya dan Keio yang datang di pukul 9 sampai 10 sebab kami membagi tugas tim untuk
tetap stand by di kelas 5 SD juga.
Tim kami mengajar di SD sejak pagi pukul 7 sampai pukul 11.30. Disini saya
melihat dan merasakan betapa beratnya menjadi seorang guru bagi anak-anak yang
masih kecil dan belum dewasa. Ternyata profesi guru benar sangat mulia dalam
mendidik siswa memiliki pribadi baik sejak tingkat SD. Mamaku seorang guru SD, mengajar
agama. Kegiatan mengajar ini membuat hati berdegup kencang mengingat kerja
keras mamaku mencari nafkah untuk keluarga dan anak, terlebih Mama mengemban
tugas mendidik anak-anak yang masih belum paham banyak tentang kerasnya hidup.
Terimakasih mama untuk didikanmu padaku, semangatmu menjadi penyejuk hati.
Guru
itu pahlawan tanpa tanda jasa. Betul memang. Saya merasa selama ini sudah
banyak membuang waktu sia-sia hanya untuk kegiatan kurang bermanfaat. Padahal
mama banting tulang bekerja untuk hidupku. Mama selalu memberi semangat saat
saya hadapi kegagalan, padahal saya jarang pulang menjenguk mama yang tinggal
sendiri di rumah. Sangat jarang.
Hari
Rabu, 4 Maret kami ke Guci. Tiap hari Pa Zaenal selalu mengecek baik mengirimi
sms atau datang langsung ke Suniarsih untuk mengontrol dan briefing. Entahlah namun beliau sering datang ke Suniarsih untuk
menemui kami atau sekedar memberi ocehan untukku sebagai ketua Suniarsih member.
Padahal saya belum pernah melakukan SLP di Negri Sakura, belum merasakan secara
langsung style didikan SLP versi
Jepang dan atmosfer kehidupan masyarakat pedesaan disana. Saya hanya membaca
dari blog-blog pribadi beberapa rekan yang sudah belajar SLP di Jepang dan
berkonsultasi dengan Farah, Rauf, Keio, Rena yang satu desa dengan saya dan
mereka pernah SLP di Jepang. Tetap saja cerita dan sharing pengalaman terasa berbeda bila dibandingkan dengan
merasakan secara langsung kegiatan tersebut. Namun saya tidak ambil pusing. Saya
tidak sama sekali ambil pusing. Saya selalu berusaha melakukan hal-hal sebaik
mungkin dan setiap keputusan yang diambil terkait agenda kegiatan itu berdasarkan
hasil kesepakatan semua member Suniarsih.
Saat
saya mengirim sms ke Pa Zaenal terkait jadwal agenda di Guci, beliau memberikan
saran agar diskusi lebih baik dilakukan pagi hari lalu siang hari saatnya free time di Ongseng Guci (Ongseng
berasal dari Bahasa Jepang yang artinya kolam air panas). Saya agak gendek saat
beliau atur-atur seenaknya saja begitu. Tapi setelah beberapa lama saya pikir
ulang ternyata nasihat beliau sangat tepat sebab kita memang harus bekerja dulu
baru rehat berwisata di Guci.
Selain
itu yang menarik ialah gagasan Abichan Sensei untuk melakukan pertemuan seluruh
desa di Tegal site tiap 3 atau 4 hari sekali untuk sharing info atau bahkan sekedar melepas penat dengan bertemu teman
dari desa lain. Ini juga gagasan menarik yang saya dapat dari Sensei. Padahal
pertama kali melihat beliau saya merasa kurang suka. Apalagi saat perjalan
berangkat ke Tegal, waktu itu beliau memarahi saya sebab tidak mempersiapkan
air minum di bus dan saat hendak beli air di rest area di Tol Jagorawi saya bilang disana harganya mahal.
Padahal kemarin Pa Jeffry sudah bilang kalau di bus sudah ada air minum. Bete
sih diomelin begitu di depan mahasiswa yang lain pula. Waktu itu saya hanya
berpikir, Ya sudahlah, bagaimana lagi. Tapi setelah waktu berlalu saya makin
paham karater dan gaya beliau dalam mendidik. Beliau punya banyak gagasan
menarik yang out of the box dan
hebat.
Begitu
sukar mengurusi anak-anak yang berbeda latar belakang dan ras, sukar memberi
instruksi dan paling sukar ialah saat meminta mereka tidur segera tidak saat
larut malam. Begadang menjadi kebiasaan buruk yang sulit saya beri ketegasan.
Menjadi ketua regu di Suniarsih tahun ini amat menantang mengingat saya sebagai
ketua baru memiliki pengalaman mengikuti IPB Goes to Field (IGTF) saja
sedangkan member lain sudah advance.
Rauf itu kakak tingkat saya walaupun dari segi usia itu saya lebih tua. Dia
orang baik dan kreatif dalam berpikir. Namun saya masih merasa dia belum begitu
dewasa dan bijak. Mungkin efek kelas akselerasi.
Keio
yang sudah bulak balik Indonesia dan Jepang untuk SLP, Farah dan Rena sudah
pernah SLP di Jepang. Mereka berempat sudah lebih berpengalaman dari pada saya.
Cukup sulit memimpin mereka. Namun saya berusaha memahami bagaiman agar
pengalaman dan pengetahuan mereka bisa dimanfaatkan untuk kegiatan SLP di
Suniarsih yang lebih mendidik sehingga saya memutuskan posisi pemimpin yang
kadang otoriter, kadang seperti bukan pemimpin, dan kadang sebagai fasilitator.
Sikap
sebagai fasilitator saya terapkan sebab beberapa member sudah lebih
berpengalaman dari saya maka saya sering menggali informasi yang dalam dari
Rauf, Keio, Farah, Rena. Saya juga menggali banyak infromasi terkait kehidupan
di Jepang dari Maki. Perilaku keseharian yang menarik untuk diamati dan diambil
pelajaran baiknya. Mereka sangat tepat waktu, disiplin, dan senang memuji. Saya
salut akan etos kerja orang Jepang yang selalu bersungguh-sungguh dalam
menyelesaikan pekerjaan dan kewajiban. Kebiasaan memuji dan bilang oishi juga menarik. Manusia pada dasarnya
suka dipuji dan diberi masukkan yang membuat hati senang. Dan itulah poin
menarik dari budaya Jepang.
M
Ariansyah alias Nyannyan pernah megikuti Bina Cinta Lingkungan (BCL). Saat saya
di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) tidak ada kegiatan itu jadi menarik untuk
digali infonya. Nyanyan masih semester 4 tapi sudah berani mengemukakan
pendapat dan ikut berdiskusi menukar pendapat serta pemikiran. Dia orang yang
keratif. Mental ini memang sudah identik karena dia sekolah di Depok, salah
satu kota maju di sekitar Ibu Kota Indonesia, Jakarta. Saya mendengarkan
baik-baik saat Pa Zaenal bercerita masa TPB beliau penuh canggung harus
berteman dengan mahasiswa asal Jakarta dan Bandung yang sangat percaya diri
saat mengacungkan tangan memberikan pendapat. Nyannyan sudah memiliki mental
untuk bergaul dengan orang lain.
5
Maret 2015 kami berkunjung ke MTS At-Tarmasie Desa Suniarsih. Kunjungan ini
sambil mengajari origomi, bahasa Jepang, dan praktik komputer. Di sekolah itu
gurunya jarang masuk kelas. Bahkan saat kami berkunjung kesana pun semua kelas
sedang tidak ada guru padahal itu masih jam pelajaran. Saya bertanya ke
murid-murid dan mereka bilang kalo para guru sedang di kantor. Saat saya cek ke
kantor para guru ada yang duduk santai, bermain komputer, internetan, dan ada
yang terlihat sibuk memeriksa berkas-berkas. Saya bingung harus menegur atau
bagaimana karena posisi saya hanya pendatang dan para guru tak menunjukkan
ketertarikan para program bank sampah dan SLP kami.
Hal
kontras bila dibandingkan dengan SDN 1 Suniarsih yang sangat antusias saat kami
datang. Saya sebenarnya tidak mempermasalahkan cara mereka menyambut atau
menanggapi kedatangan kami, namun saya hanya melihat hal kontras antara
keduanya. Guru-guru SD sangat welcome
dan bahkan wali kelas 5, Pa Khobuli meminta saya kembali lagi ke kelas dan
kembali lagi ke Tegal untuk belajar bersama anak-anak. Saya kaget dengan
tawaran itu. Pa Khobuli berasal dari Purwokerto dan merantau ke Desa Suniarsih
untuk mengabdikan diri mengajar walau harus tinggal di rumah dinas yang
terbilang sempit. Tapi beliau selalu ceria dan memberikan senyuman saat bertemu
kami. Ibu Kepala Sekolah SD yang anak-anak SD bilang galak dan tegas juga
menyambut baik kedatangan kami, Mahasiswa IPB dan Jepang. Saya senang dengan
kerja keras para guru SD.
Kami
berada di kelas 8 MTS selama 2,5 jam untuk berbagi pengalaman, mengajari bahasa
Jepang, membuat origomi bentuk kemeja, dan praktik komputer. Kami pun pulang
dan kembali ke rumah Pa Taseh, Lurah Suniarsih. Siang hari saya memutuskan
untuk mengecek kembali rumah warga RT 04 yang akan dijadikan untuk kegiatan
pengajian dan arisan ibu-ibu. Lalu setelah semua oke kami membagi member SUIJI
Suniarsih kedalam 2 tim. Tim 1 yang terdiri dari Keio, Farah, Nyannyan, dan
Rena datang ke arisan untuk presentasi serta mengajak mengelola sampah melalui
Bank Sampah, sebab menurut cerita Ibu Bariroh, pencetus Bank Sampah Tuwel,
sistem berawal dari kumpulan ibu-ibu pengajian yang memiliki visi untuk
memiliki lingkungan Tuwel yang bersih. Sedangkan tim 2 terdiri dari Tantan,
Rauf, dan Maki melakukan interview ke RT 01 dan RT 02.
Hal
menarik dari kegiatan kita siang ini adalah saat tim 1 ke arisan, lalu
presentasi tentang pengelolaan sampah dan ajakan mendirikan bank sampah. Satu
persatu ibu meninggalkan ruang arisan dan akhirnya salah seorang ibu bertanya,
“sudah?” sambil meninjing tasnya. Karena kami tidak enak dengan mereka maka
kami jawab sudah. Dan semua ibu-ibu pergi meninggalkan rumah dengan posisi kami
yang terkaget-kaget tidak karuan.
Kegiatan
Gomi Undokai yang dilakukan di Desa Suniarsih direncanakan secara bersama-sama
oleh Tegal site member. Seluruh member datang ke Suniarsih untuk saling
membantu persiapan kegiatan ini. Saya merasa bahagia dapat berjumpa kembali
dengan kawan-kawan dari desa lain. Ide untuk kembali mempertemukan seluruh
member baik Indonesian maupun Japanese tercetus oleh Abichan Sensei. Pada
awalnya saya belum memahami maksud dan tujuan dari pertemuan rutin tiap 3 hari
sekali. Ternyata setelah saya coba cerna ulang barulah dapat dipahami bagaimana
pentingnya pertemuan ini. Saya memahami jika hal ini dapat menjadi ajak temu
kangen sesama member dari desa lain, lalu menjadi ajang untuk sharing informasi
yang telah didapat, dan untuk mengenal teman yang sebelumnya belum kita kenal.
Saya bersyukur dapat mengenal seluruh tegal site member dan itu sangat
menyenangkan mengetahui bermacam-macam karakter dari orang lain. Saya pun tidak
dapat yakin bisa mengenal teman Indonesia dari desa lain jika pertemuan rutin
ini tak dilakukan. Saya salut dengan Sensei yang dapat membimbing mahasiswa
sambil turun langsung membenarkan yang kurang tepat dan memberi tahu hal yang
tak kami ketahui.
Saya
pernah mengikuti kegiatan IGTF di Desa Prambanan, Kabupaten Klaten. Saat itu
program yang dilakukan yakni sosialisasi tungku sekam sebagai alternatif sumber
energi. Waktu itu saya masih tingkat 2 dan merasa belum sangat expert untuk membawa program ini ke
masyarakat. Dan saat terjun di masyarakat Prambanan, mereka menuntut mahasiswa
untuk membawa inovasi yang baru disertai kepraktisan penggunaannya. Saya yakin
benar bahwa inovasi tungku sekam merupakan salah satu inovasi di bidang energi
yang menarik ketika dunia menuju keadaan minyak dan gas bumi habis. Manusia di
dunia sebagian besar sangat tergantung pada energi fosil sebagai bahan bakar,
bahan aspal jalan, dll. Prambanan memiliki komoditas penting yakni padi
rojolele. Padi ini ketika ditanak menjadi nasi yang pulen dan wangi seperti
pandan. Maka area sawah warga desa cukup luas menyebabkan limbah sekam juga
melimpah. Disinilah potensi tungku sekam sebagai alternatif sumber energi yang
murah dan ramah lingkungan. Ramah lingkungan disini sebab memanfaatkan limbah
sekam sebagai bahan bakunya. Namun disamping itu masih ada kekurangan dari
tungku sekam ini, yakni tingkat kepraktisan yang masih kecil, sebab tungku
sekam tidak bisa ditinggalkan lama. Apinya akan padam dan sekamnya tidak
terdistribusi dengan baik, berbeda halnya dengan gas bumi yang dapat
ditinggalkan selama setengah jam untuk memasak air. Selain itu tungku sekam
mengeluarkan asap yang menyakiti mata. Warga desa Prambanan kurang tertarik
dengan tungku sekam ini. Kami sudah mengajak bapak-bapak untuk bersama-sama
mengetahui cara membuat tungku sekam dan mensosialisasikan demo masak
menggunakan tungku sekam di depan ibu-ibu PKK. Beberapa komentar yang muncul
adalah tidak praktis dan asapnya menyakiti mata.
Sama
halnya ketika saya mengikuti SUIJI SLP 2015 di Suniarsih, Tegal. Warga desa
disini sangat tertarik dengan kedatangan kita. Walaupun respon terhadap program
yang kami tawarkan, yakni bank sampah, belum cukup membuat warga desa tertarik
dan antusias. Saat SUIJI saya rajin berkeliling desa untuk mengamati keadaan
warga dan kondisi karakteristik wilayahnya. Padahal saat IGTF saya lebih sering
tinggal di rumah tanpa agenda dan jalan-jalan ke Jogja. Bahkan tidak satu
fasilitas pendidikan di desa Prambanan yang kami kunjungi. Berbeda halnya
dengan di Suniarsih. Kami berkunjung dan berbagai pengetahuan dengan anak-anak
Paud, SD, SMP, dan MTS. Prambanan cukup strategis dengan moda transportasi dan
fasilitas umum. Contohnya saja di Prambanan itu hanya cukup berjalan kaki ke
jalan raya di depan maka bus antar kota dan antar provinsi sudah tersedia. Di
Suniarsih hanya ada pick up yang tersedia. Sehingga warga Suniarsih masih belum
terbiasa dengan orang asing. Berbeda halnya dengan Prambanan yang memiliki
objek wisata Candi Prambanan yang banyak dikunjungi turis lokal dan turis
asing.
Untuk
persoalan yang sedang “in” di masyarakat pedesaan, saya rasa urbanisasi banyak
terjadi di kalangan warga desa. Saat kami melakukan interview dengan warga,
beberapa dari anggota keluarga yang
masih muda dalam usia kerja banyak yang pindah ke perkotaan seperti Bandung,
Jakarta, dan Semarang untuk merantau mencari pekerjaan disana. Beberapa dari
warga desa yang diinterview menyatakan anggota keluarga mereka menjual nasi
goreng di kota dan ada beberapa yang kerja di pabrik. Lalu terpikir dibenak
bahwa warga desa usia tua yang bermatapencaharian sebagai petani tidak memiliki
penerus ilmu pertaniannya, sebab generasi mudanya lebih memilih bekerja di
kota. Padahal jika tidak ada penerus maka siapa lagi yang dapat melanjutkan
sistem pertanian yang sudah dilakukan puluhan tahun bahkan ratusan tahun lalu
atau bahkan lebih. Pantas saja bawang putih di Tuwel atau di Bojong sudah
sangat sulit. Sebab generasi muda petani tidak ingin bekerja sebagai petani.
Padahal mamaku menanyakan bagaimana kabar pertanian bawang putih di Tegal. Itu
pertanda bawang putih merupakan potensi yang sudah dikenal banyak.
Saya
belum tahu bagaimana mengatasi 2 problematika di atas mengenai urbanisasi dan
hilangnya ilmu pertanian bawang putih. Dua hal itu erat kaitannya dengan latar
belakang pendidikan dan ekonomi. Saya rasa hal itu harus jadi perhatian serius
agar laju urbanisasi dapat dikendalikan dan potensi pertanian desa dapat
ditingkatkan.
Proses
belajar dan “bergaul” yang saya alami saat SLP menuntut kemampuan adaptasi yang
baik dan skill pengontrolan diri. Saya sudah terbiasa dengan kondisi cuaca di
Suniarsih yang rutin hujan dan berkabut, sebab rumah saya juga ada di kaki
gunung. Adaptasi yang cukup sulit saya lakukan yakni berinteraksi dengan orang
Jepang. Saya berasal dari desa di Jawa Barat, walaupun fasilitas sudah cukup
baik namun tetap saja saya orang desa. Namun saat harus satu rumah dengan orang
Jepang yang cukup kontras dari segi budaya, makanan, kepercayaan, dan kebiasaan
membuat saya harus ekstra adaptasi dan berhati-hati. Teman-teman dari Jepang
belum terbiasa dengan makanan dan minuman di Indonesia yang identik dengan
rasa, manis, asin, dan pedas. Tiga orang kawan Jepang di Suniarsih mengalami
diare selama beberapa hari, walaupun tidak parah namun penyakit itu sudah cukup
membuat saya sebagai ketua Suniarsih member mendapat “semprotan” dari Sensei.
Saya tidak khawatir ataupun sakit hati kok dengan hal itu, malah saya merasa
senang karena ada yang memperhatikan dan peduli.
Tidak
ada konflik besar yang kami alami, hanya beberapa kali saya terjadi
ketidaksamaan pola pikir dan pengambilan keputusan. Tetapi hal itu dapat
teratasi dengan kelapangan member satu sama lain. Rauf terkadang keras kepala
jika ada ide yang kontras dengan pemikiran di kepala dia, namun pelan-pelan
saya sebagai leader dan member lain menjelaskan maksud dan urgency ide yang tercetus tersebut. Semua kami selalu berusaha
komunikasikan dengan baik antar member. Termasuk saat bergantian masuk toilet,
kami saling menurunkan ego masing-masing. Saya salut dengan Suniarsih member
yang selalu bercanda tertawa terbahak-bahak, hingga sesi mengenal satu sama
lain lewat sesi “Who am I?”. Di sesi itu kami saling memaparkan kepribadian
sendiri dan saat ada pertanyaan menjawab dengan jujur. Bahkan kami harus
mengetahui hobi, akun media sosial, punya pacar atau tidak, sudah punya mantan
berapa, dan makanan kesukaan apa. Pertama-tama terbersit pemikiran itu hanya
hal sepele, tetapi ternyata hal itu yang mendekatkan kita melalui saling kenal
satu sama lain.
Tapi
satu hal yang membuat saya salut dengan Pa Lurah dan keluarga ialah mereka rela
pindah ke rumah bagian belakang selama kami 2 pekan tinggal disana. Padahal
rumah bagian belakang itu sangat dekat dengan tebing dan jika malam hari terasa
dingin. Pa Lurah dan keluarga dengan senang hati mempersilahkan kami untuk
tidur di kamar dan menggunakan selimut mereka, padahal mereka tidak masalah
untuk tidur di lantai beralaskan tikar dan kain sarung. Ibu lurah pun begitu
baik mengurusi kami seperti halnya anak beliau sendiri. Saya beberapa kali
meminta maaf saat harus membuat bising rumah mereka di malam hari dan merepotkan
ibu untuk memasak dengan porsi lebih dari biasanya untuk kami. Bapak, Ibu, dan
keluarga itu tipikal orang yang mau belajar dan berbagai. Saya kagum dengan
keikhlasan mereka.
Beberapa
hari sebelum keberangkatan ke desa, saya membayangkan di Desa Suniarsih itu
sangat menyeramkan dan warganya sangat terbelakang untuk hal perkembangan
teknologi. Setelah saya tinggal selama 2 pekan bayangan seram dan angker
ternyata tidak sepenuhnya dirasakan disana. Tetapi beberapa kepercayaan warga
masih ada seperti tidak boleh memainkan instrumen gamelan di desa ini, sebab
jika dimainkan maka akan ada bencana yang datang. Lalu dari sejarah pun
sebagian besar warga percaya bahwa Suniarsih berasal dari nama seorang wanita
yang mengasingkan diri ke hutan lalu tinggal disana sampai ajal datang. Hal
menarik yakni desa ini memiliki nama lain yakni Simpar. Dari cerita warga yang
saya dengarkan, mbah simpar dulu menyukai Suniarsih dan menyayanginya. Poin
lain terkait informsi kepercayaan warga desa ialah cerita yang kami dapatkan dari
Pa Lurah, Pa Taseh. Bapak dulu melalukan semedi sebelum berani mencalonkan diri
sebagai Lurah Suniarsih. Ada sesajen dan kemenyan yang disimpan di rumah bagian
belakang sebagai penangkal dari aura negatif. Bapak menceritakan hal itu di
malam hari saat sepi sehingga membuat saya ketakutan. Entahlah ini hal nyata
atau tidak saya tidak ambil pusing. Yang terpenting saat menjadi orang baru di
desa ini jangan melakukan hal-hal tidak senonoh seperti berzina, berkata kotor,
dan sonong menantang penghuni hutan desa.
Motivasi
belajar dan turun desa menjadikan saya tetap bertahan selama 2 pekan walaupun
menemui banyak rintangan. Saya mahasiswa FMIPA yang tidak memiliki sks untuk
KKN atau magang. Beberapa dari departemen atau jurusan di fakultas saya memang
mewajibkan KKN dan/atau magang, namun hal ini tidak berlaku dibeberapa
departemen lain, termasuk departemen saya. Saya mengikuti IGTF di Klaten dan
SLP di Tegal berkat dorongan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman untuk
memiliki soft skill yang tidak saya dapatkan di dalam kelas kuliah. Keyakinan
begitu kuat bahwa soft skill ini sangatlah bermanfaat saat dunia pasca kampus
atau berinteraksi dengan masyarakat. Masih terngiang di benak saat Sensei
menyatakan bahwa desa itu kampus dan warga desa adalah buku sang jendela dunia.
Saya yakin ilmu SLP ini sangat dibutuhkan mahasiswa, terutama mahasiswa FMIPA.
Beberapa hari setelah kepulangan
dari Tegal, saya mendapat tawaran untuk mengajar di salah satu bimbingan
belajar di Kota bogor. Saya merasa itu sebagai kesempatan untuk melatih
pengetahuan tentang ilmu yang didapat sampai bangku kuliah untuk persiapan
ujian sidang sarjana. Saya mendapatkan beasiswa untuk jenjang sarjana di IPB
dan pihak beasiswa itu memiliki program bina desa tiap hari Sabtu sore untuk
mengajar anak-anak desa yang masih SD dan yang putus sekolah. Mengikuti SLP
membuat semangat bina desa lebih besar dan membuat kita punya kewajiban untuk
peduli kepada masyarakat. Rasa peduli dan empati inilah yang masih minim
dimiliki oleh para mahasiswa. Saran saya, SLP diwajibkan untuk seluruh
mahasiswa dan dosen, sebab masyarakat juga butuh tenaga ahli yang sudah paham
betul. Mahasiswa juga menarik perhatian warga desa sebab seperti kepala BAPPEDA
Tegal sampaikan bahwa mahasiswa itu bagai bayi, apapun keadaannya tetap lucu
berbeda dengan pemerintah desa yang sudah terkontaminasi.
Saya merupakan mahasiswa tingkat
akhir di program sarjana dan di bulan januari saya sudah apply program exchange
Alfabet Erasmus dan Februari sudah dilakukan interview, lalu Bulan April akan
diumumkan. Saya yakin dengan interaksi mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa
asing akan menyebabkan bertambahnya pengetahuan satu sama lain dan tingkat
kepercayaaan diri saat harus bekerja secara team
work dengan orang asing dari negara lain. Saya sangat antusias untuk
berkeliling Indonesia dan dunia untuk mengetahui betapa luasnya dunia dan
betapa menarinya budaya-budaya orang lain. IGTF dan SLP menjadi fasilitas untuk
belajar di Klaten dan di Tegal, tempat yang sebelumnya belum pernah saya
datangi. Saya merencanakan tahun ini akan kuliah exchange di Jerman mengambil Teknik Elektro atau Fisika lalu tahun
depan belajar teknologi ke Jepang. Semoga kami menjadi pribadi lebih
peduli,cerdas, dan berempati. Terimakasih IGTF. Terimakasih SUIJI SLP. Terimakasih
Pa Zaenal, semoga Alloh swt selalu limpahkan kesehatan untuk sensei.